Pages

Rabu, 14 Januari 2015

Makalah Radikalisme Agama


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Praktek kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme, akhir-akhir ini semakin marak di tanah air. Kesatuan dan persatuan bangsa saat ini sedang diuji eksistensinya. Berbagai indikator yang memperlihatkan adanya tanda-tanda perpecahan bangsa, dengan transparan mudah kita baca. Konflik di Ambon, Papua, maupun Poso, seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu bisa meledak, walaupun berkali-kali bisa diredam. Peristiwa tersebut, bukan saja telah banyak merenggut korban jiwa, tetapi juga telah menghancurkan ratusan tempat ibadah (baik masjid maupun gereja).
Bila kita amati, agama seharusnya dapat menjadi pendorong bagi ummat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh ummat di bumi ini. Namun, realitanya agama justru menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasanan dan kehancuran ummat manusia.  Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya preventif agar masalah pertentangan agama tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. Misalnya, dengan mengintensifkan forum-forum dialog antar ummat beragama dan aliran kepercayaan (dialog antar iman), membangun pemahaman keagamaan yang lebih pluralis dan inklusif, dan memberikan pendidikan tentang pluralisme dan toleransi beragama melalui sekolah (lembaga pendidikan).
Pada sisi yang lain, pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah pada umumnya juga tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Hal ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya. 
Realita tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama baik di sekolah umum maupun sekolah agama lebih bercorak eksklusive, yaitu agama diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama lain, seakan-akan hanya agamanya sendiri yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun minoritas. Seharusnya pendidikan agama dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama sekaligus mengembangkan teologi inklusif dan pluralis. Berkaitan dengan hal ini, maka penting bagi institusi pendidikan dalam masyarakat yang multikultur untuk mengajarkan perdamaian dan resolusi konflik seperti yang ada dalam pendidikan multikultural.








B.     Rumusan Masalah


1.                  Bagaimana  Tata Pergaulan Masyarakat Indonesia ?
2.                  Apakah Pengertian Pendidikan Islam dan Multikulturalisme ?
3.                  Bagaimana Islam dan Multikulturalisme ?
4.                  Bagaimanakah Pendidikan Islam Sebagai Upaya Membangun Multikulturalisme?

C.    TUJUAN
Sejalan dengan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      menganalisis tentang Urgensi Pendidikan di dalam Tata Pergaulan masyarakat    Indonesia.
2.      menganalisis Pendidikan Islam dan Multikulturalisme yang ada di Indonesia.
3.      menganalisis upaya Pendidikan Islam guna Membangun Multikulturalisme tata Pergaulan Masyarakat Indonesia.

D.    MANFAAT
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagi Penulis
Pembuatan makalah ini telah memberikan berbagai pengalaman bagi penulis, seperti pengalaman dalam mengumpulkan bahan dari berbagai sumber baik buku-buku maupun artikel-artikel yang relevan dengan masalah yang dikaji. Selain itu penulis juga mendapatkan berbagai pengalaman mengenai teknik penulisan makalah, teknik pengutipan, dan teknik penggabungan materi dari berbagai sumber.
2.      Bagi Pembaca
 Strategi pendidikan Islam tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran
Agaknya menarik perhatian kita untuk berfikir ulang tentang peran agama, lebih khusus pendidikan agama Islam dalam mewarnai kehidupan masyarakat yang majemuk ini. Pendidikan Islam harus mampu menumbuhkan kesadaran pluralisme-multikulturtalisme sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang ada pada sesama manusia, apa pun jenis perbedaannya, serta bagaimana agar perbedaan tersebut diterima sebagai hal yang alamiah (natural, sunnatullah) dan tidak menimbulkan tindakan diskriminatif, sebagai buah dari pola perilaku dan sikap hidup yang mencerminkan iri hati,dengki dan buruk sangka. Makalah ini berusaha membahas tentang urgensi pendidikan Islam dalam membangun kesadaran multikulturalisme dalam masyarakat multikultural yang sarat dengan berbagai permasalahan seperti telah disebutkan. Dengan problem-problem tersebut, apa yang bisa ditawarkan oleh lembaga pendidikan Islam untuk turut andil mengatasinya sehingga pada akhirnya pendidikan Islam mampu memberikan kontribusinya terhadap stabilitas nasional.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tata Pergaulan Masyarakat Indonesia

Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesiia (NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu, mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragama seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan.1 Kemajemukan dan keberagaman agama, suku bangsa, adat istiadat, kebudayaan, bahasa, cara hidup dan pandangan nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok etnis yang ada dalam masyarakattersebut terikat dalam motto Bhinneka Tunggal Ika yang artinya beragam dalam satu ikatan. Pluralitas bukan hal yang merugikan bagi keberadaan kehidupan. Pluralitas adalah kehendak Sang Pencipta (sunnatullah) agar kehidupan ini dapat berjalan dalam keseimbangan.
Adanya pluraliatas dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan masyarakat itu dinamis, penuh warna, tidak membosankan, dan membuat antara yang satu dengan lainnya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Dengan kata lain pluralitas meniperkaya kehidupan dan menjadi esensi kehidupan masyarakat sehingga tindakan untuk menolak ataupun menghilangkan adanya pluralitas, pada hakekatnya menolak esensi kehidupan. [1]Sungguhpun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata pada adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat yang plural seringkali terjadinya konflik yang pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya stabilitas dan ketidakharmonisan. Di Indonesia seringkali muncul fenomena kekerasan seperti konflik etnis, konflik antar umat beragama, konflik kepentingan antar kelompok/golongan dan sebagainya yang kita kenal dengan konflik berbasis SARA. Salah satu contoh masalah yang dapat kita temui dalam kehidupan beragama yang plural ini, adalah kecurigaan dan kesalahfahaman dari satu penganut agama terhadap sikap dan perilaku agama lain, malah juga terhadap sesama penganut agama tertentu,3 Hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme itu. Dari apa yang dikemukakan tadi, masalah pluralitas etnik dan pluralitas agama memang memerlukan pendekatan baru untuk menemukan jalan terobosan yang lebih efektif dalam upaya bersama menyelamatkan keutuhan bangsa dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Tertanamnya kesadaran multikultural dan piuralitas masyarakat, akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanief dan toleran. Berbagai strategi perlu diusahakan, baik melalui bidang sosial, politik, budaya, ekonomi ataupun pendidikan. 4 Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan Islam merupakan salah satu solusi yang bisa menawarkan alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang
B. Pengertian Pendidikan Islam dan Multikulturalisme

1. Pengertian pendidikan Islam

Istilah pendidikan dalam perspektif Islam dapat diderivasi dari dua istilah sentral yang secara tekstual dan historis telah dipakai sampai sekarang, yaitu tarbiyah dan ta'dib. Kedua istilah ini mempunyai perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar.6 [2]Naquib Al-Atas seperti yang dikutip Sembodo Ardi widodo mengatakan bahwa secara semantik tarbiyah mempunyai arti mengasuh, menanggung, memberi makan, memelihara, membuat, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan. Istilah tarbiyah dalam hal ini tidak hanya ditujukan untuk manusia saja tetapi juga berlaku untuk spesies lainnya, seperti mineral, tanaman dan hewan.7 Sedangkan istilah ta'dib menurut Naquib, istilah inilah yang paling tepat untuk menunjukkan proses pendidikan dalam Islam, karena istilah ta'dib merupakan sebuah sistem Islam yang di dalamnya terdapat tiga sub sistem penting yang saling berkaitan yaitu pengetahuan ('Urn), pengajaran (ta'lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Jadi tarbiyah adalah bagian atau sub sistem dari ta'dib itu sendiri.
Pengertian pendidikan Islam selanjutnya banyak diinterpretasikan oleh para kalangan ahli pendidikan dengan tafsirantafsiran yang berbeda.
Di antaranya adalah:
a)                  Abdurrahman al-Nahlawi, menurutnya bahwa pendidikan Islam merupakan suatu proses penataan individual dan sosial yang dapat menjadikan seseorang tunduk dan taat sekaligus menerapkan Islam secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, pendidikan Islam bertugas membimbing manusia agar dapat menjalankan amanat yang diembannya. Amanat itu bersifat individual dan sosial.9
b)         Muhammad Quthb memberi pengertian pendidikan Islam sebagai usaha untuk melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari segi kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam melaksanakan kegiatannya di bumi ini. Dalam hal ini Quthb memandang pendidikan Islam sebagai suatu aktifitas yang berusaha memahami diri manusia secara total melalui berbagai pendekatan dalam rangka menjalankan kehidupan di dunia.10
c)         Zakiah Darajat seperti yang dikutip oleh Sembodo Ardi Widodo menitikberatkan pendidikan Islam pada dua segi. Pertama, pendidikan Islam lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan dirinya sendiri maupun orang lain. Kedua, Pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Artinya, pendidikan Islam merupakan pendidikan iman dan pendidikan amal. Karena ajaran Islam berkaitan dengan ajaran sikap dan tingkah laku individu dan masyarakat, maka pendidikan Islam juga merupakan pendidikan individu dan masyarakat.11 Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pendidikan Islam pada hakikatnya adalah suatu proses pendidikan yang sifatnya menyeluruh dan terpadu yang mengarah pada pembentukan kepribadian peserta didik baik itu individu maupun masyarakat yang berdasarkan pada ajaran Islam.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka pendidikan Islam memiliki tujuan antara 12 dan tujuan akhir.
 Dalam hal ini Menurut Azyumardi Azra tujuan antara adalah tujuan yang pertama-tama hendak dicapai dalam proses pendidikan Islam. Tujuan itu menyangkut perubahan-perubahan yang dikehendaki dalam proses pendidikan Islam Muhammad Al-Toumy al- Syaibany membagi tujuan antara tersebut menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Tujuan individual, tujuan yang berkaitan dengan kepribadian individu dan pelajaran-pelajaran yang diterimanya. Tujuan ini menyangkut perubahan-perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, pertumbuhan kepribadian dan persiapan peserta didik dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.
2. Tujuan sosial, yaitu tujuan yang berkaitan dengan kehidupan sosial peserta didik secara keseluruhan. Tujuan ini menyangkut perubahan-perubahan yang dikehendaki pada fase-fase pertumbuhan, pengayaan pengalaman, dan kemajuan peserta didik dalam menjalani kehidupan bermasyarakat
3. Tujuan profesional, yaitu tujuan yang berkaitan dengan pendidikan sebagai ilmu, seni, profesi dan sebagai suatu aktifitas diantara aktifitas-aktifitas lain yang ada dalam masyarakat. Proses pendidikan Islam pada akhirnya berusaha mencapai ketiga tujuan antara diatas secara terpadu dan terarah, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan akhir dari pendidikan Islam, yaitu terbentuknya kepribadian Muslim paripurna sehingga orang tersebut dapat memfungsikan dirinya secara individual maupun sosial demi kebahagiaan di dunia dan akhirat yang merupakan tujuan hidup setiap muslim.[3]

2. Pengertian Multikulturalisme

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya) dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.15 Ada banyak ilmuwan dunia yang memberikan definisi kultur dan sangat beragam, walaupun demikian ada beberapa titik kesamaan yang mempertemukan keragaman definisi yang ada tersebut.  Salah satunya dapat dilakukan lewat pengidentifikasian karakbaik berkenaan dengan pribadi peserta didik, masyarakat maupun lingkungan. Keberadaan tujuan antara juga harus jelas sehingga keberhasilan pendidikan
Islam dapat diukur secara bertahap.
teristiknya. Conrad P. Kottak menjelaskan bahwa kultur memiliki beberapa karakter khusus, antara lain:16
1. kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus.
2. kultur adalah sesuatu yang dipelajari.
3. Kultur adalah sebuah simbol
4. Kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami
5. Kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi   individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat.
6. Kultur adalah sebuah model
7. Kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif
Dari karakteristik ini, dapat dikembangkan pemahaman terhadap multikulturalisme, yaitu sebuah paham tentang kultur yang beragam. Dalam keragaman kultur ini meniscayakan pemahaman, saling pengertian, toleransi dan sejenisnya, agar tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan. Sementara Abdullah menyatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hakhak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama multukulturalisme adalah pada kesetaraan budaya.17 Sosiolog UI Parsudi Suparlan menyatakan bahwa, multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman. Alasanya, multikulturalisme adalah sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan kesukubangsaan.18

Dalam konteks pendidikan Islam, multikultural adalah sikap menerima kemajemukan ekspresi budaya manusia dalam memahami pesan utama agama, terlepas dari rincian anutannya. Basis utamanya dieksplorasi dengan melandaskan pada ajaran Islam, sebab dimensi Islam menjadi dasar pembeda sekaligus titik tekan dari konstruksi pendidikan ini. Penggunaan kata pendidikan Islam tidak dimaksudkan untuk menegasikan ajaran agama lain atau pendidikan non Islam, tetapi justru untuk meneguhkan bahwa Islam dan pendidikan Islam sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis-multikultur al ,
Multikulturalisme sebenarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis dan agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman kita bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultur). Bangsa yang multikultur adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Pluralitas itu juga dapat ditangkap oleh agama, selanjutnya agama mengatur untuk menjaga keseimbangan masyarakat yang plural tersebut Paradigma multikulturalisme memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi
dan respek terhadap budaya dan agama agama orang lain (the others). Atas dasar ini maka penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamaian. Diharapkan dengan kesadaran dan kepekaan terhadaap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam dan etnis, agama, budaya hingga orientasi politik, akan bisa mereduksi berbagai potensi yang dapat memicu konflik sosial di belakang hari.
Teologi multikulturalis adalah jalan keluar dari simtom eksklusivisme, kebebalan dan kekakuan sikap terhadap yang lain. Gagasan multikulturalisme yang dinilai mengakomodir kesetaraan dan perbedaan merupakan sebuah konsep yang mampu meredam konflik vertikal dan horizontal dalam masyarakat yang heterogen dimana tuntutan akan pengakuan atas eksistensi dan keunikan budaya kelompok etnis sangat lumrah terjadi. Dengan demikian, akan tercipta suatu sistem budaya dan tatanan sosial yang mapan dalam kehidupan masyarakat yang akan menjadi pilar kedamaaian sebuah bangsa. Pada bagian fundamental teologi multikulturalis memandang keragaman sebagai peluang untuk membangun harmoni dan
 

15. Abdullah,”multikulturalisme”, Kompas, 16 Maret 2006
16. Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat, Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem Sosial, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006 ). Hlm. 61
17. Ngainun Nairin dan Ahmad Syauqi, Pendidikan Multikulturalisme....hlm. 51
18. Nanih Mahendrawati dan Ahmad Syauqi, Pengembangan Masyarakat Islam. Dari Idiologi, Strategi Samapai Tradisi, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 34




kerjasama; saling percaya dan berfikir positif adalah modal sosial membangun kesefahaman; pengorbanan dari dan untuk kemaslahatan bersama merupakan titik pangkal jejaring solidaritas antariman, antaretnik dan antarkultur; perdamaian tidak akan terwujud melalui aksi balas dendam melalui kekerasan; dan hanya melalui pengampunan, perdamaian umat manusia menjadi mungkin. Sebagai stratregi dari integrasi sosial maka multikulturalisme mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya. Hal ini membawa implikasi dalam bersikap bahwa realitas sosial yang sangat polimorfik atau majemuk tak akan menjadi kendala dalam membangun pola hubungan sosial antarindividu penuh toleransi.
Bahkan akan tumbuh sikap yang dapat menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace co-existence) satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya. Sehingga dapat ditegaskan bahwa multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan, meski di dalamnya ada kompleksitas perbedaan.Multikulturalisme sesungguhnya merupaskan proses pengkayaan spiritual dan menjadi penjelmaan iman yang cerdas. Iman bukan kata benda, tetapi kata kerja; kreativitas dan moralitas, Iman pada hakikatnya merupakan proses penghayatan dan penjiwaan yang cerdas atas keanekaragaman yang tergenggam dalam sunnatullah yang perkasa, sebagai penampakan kebesaran Ilahi, sehingga iman tidak berada dalam ruang yang seragam, statis dan kosong, tetapi berada dalam keterlibatan yang kreatif dalam dinamika keanekaragaman, perubahan dan konflik, untuk menerangi jalan menuju ke masa depan kehidupaan bersama yang lebih damai, sejahtera dan berkeadilan. Oleh karena itu, multiukulturalisme bukanlah sekedar wacana tetapi realitas dinamik; bukan kata-kata, tetapi tindakan; bukan simbol kegenitan intelektual, tetapi keberpihakan yang cerdas untuk mencari solusi yang mencerahkan.24



C. Islam dan Multikulturalisme

Menurut bahasa, kata Islam berarti tunduk, patuh dan damai. Jadi, karakteristik dan watak dasar Islam sebenarnya adalah gagasan konprehensif tentang perlunya perdamaian dalam hidup dan kehidupan manusia. Islam sebagai agama diturunkan untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian. Dengan demikian, segala bentuk terorisme, brutalisme, perusakan dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim radikal yang mengatasnamakan Islam sebenarnya bertentangan dengan watak dasar dan missi damai Islam itu sendiri. Tidak ada doktrin dalam Islam juga agama-agama lain yang mengajarkan terorisme, brutalisme, perusakan, pembakaran atau pun tindak tanduk kekerasan lainnya.[4] Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan nilai, meletakkan konsep dan doktrin yang memberikan rahmat bagi al-'alamin. Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normatif, sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis-multikultural begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota sosial.


Diantara nilai-nilai Islam yang menghargai dimensi pluralismultikultural adalah:
a. Konsep kesamaan (as-sawiydti) yang memandang manusia pada dasarnya sama derajatnya. Satu-satunya pembedaan kualitatif dalam pandangan Islam adalah ketakwaan. Konsep ini secara sosiologis membongkar pandangan feodalisme, baik feodalisme religius, feodalisme kapitalis atau pun fiodalisme aristokratis.26 Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara sangat positif dan optimistik. Menurut Islam, seluruh manusia berasal dari satu asal yang sama, yaitu Nabi Adam dan Hawa. Meskipun nenek moyangnya sama, namun dalam perkembangannya kemudian terpecah menjadi bersuku-suku, berkaum-kaum atau berbangsa-bangsa, lengkap dengan segala kebudayaan dan peradaban khas masing-masing. Semua perbedaan yang ada selanjutnya mendorong mereka untuk saling mengenal dan menumbuhkan apresiasi satu sama lain. Mereka harus tetap saling mendekati, saling menghormati dalam interaksi sosial. (an-Nisa'r 1 dan al-Hujurat: 13). Inilah yang kemudian oleh  Islam dijadikan dasar perspektif "kesatuan umat manusia" (universal humanity), yang pada gilirannya akan mendorong solidaritas antar manusia.
Pada waktu melakukan ibadah haji terakhir, Nabi Muhammad Saw membuat pernyataan dengan etika global: Wahai umat manusia, semua orang berasal dari Adam, sedang Adam dari ekstrak tanah. Orang Arab tidak lebih mulai dari pada non-Arab, orang kulit putih tidak lebih mulia daripada orang kulit hitam, kecuali karena kelebihan ketakwaannya. (HR. Abu Hurairah).
Kemudian pada suatu saat Nabi Muhammada Saw melihat usungan jenazah, beliau memerintahkan para sahabatnya untuk berdiri sebagai penghormatan. Diantara sahabat ada yang memberitahu, bahwa jenazah itu adalah jenazah orang Yahudi. Nabi bersabda: Tapi dia adalah manusia.2* (HR. At-Turmudzi)
Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap seseorang berdasarkan ras, agama, etnis, suku ataupun kebangsaannya, hanya ketakwaan seseoranglah yang membedakannya dihadapan sang pencipta. Konsep keadilan (al-'adalah) yang membongkar budaya nepotisme dan sikap-sikap korup, baik dalam politik, ekonomi, hukum, hak dan kewajiban, bahkan dalam praktek-praktek keagamaan. Al-Qur'an memerintahkan kita berlaku adil terhadap siapapun (an-Nisa':58), jangan sampai kebencian terhadap suatu pihak itu mendorong untuk tidak berlaku adil (al-Maidah: 8). Adil hams dilakukan terhadap diri sendiri, keluarga, kelompok dan juga terhadap lawan.29 Diceritakan bahwa sekelompok bangsawan Arab berusaha memperoleh perlakuan istimewa terhadap seorang terpidana dari kalangan mereka, mereka berusaha menggunakan Usamah bin Zaid (cucu angkat Nabi Muhammad Saw) untuk merayu beliau agar dapat meringankan hukuman si terpidana. Maka beliau bersabda: Hai Usamah, orang-orang sebelummu dulu menjadi rusak, karena mereka itu apabila ada yang mencuri dari lingkungan masyarakat yang lemah tidak berdaya,, mereka tegakkan hukum potong tanga itu. Tapi, kalau yang mencuri dasri lingkungan masyarakat yang kuat, yangterhormat, mereka membiarkan pencuri bebas dari hukuman. Demi Tuhan yang menguasai aku, andaikata Fatimah putriku sendiri itu mencuri, maka saya Muhammad yang akan memotong tangannya.™
Ini artinya bahwa, Islam mengajarkan untuk menegakkan keadilan kepada siapapun dan dari golongan manapun.
 


25.  Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antaragama, Studi atas Pemikiran Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: Bentang, 2000), him. 2
26. Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam..., him. 280.
27. Ibid., him. 142.






Konsep kebebasan/kemerdekaan (al-hurriyah) yang memandang semua manusia pada hakekatnya hanya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan hamba sesama manusia. Berakar dari konsep ini, maka manusia dalam pandangan Islam mempunyai kemerdekaan dalam memilih profesi, memilih wilayah hidup, bahkan dalam menentukan pilihan agama pun tidak dapat dipaksa seperti tercantum dalam QS. Al-Baqarah ayat 256.31 Banyak perilaku Nabi yang memberikan contoh kepada kita dalam menerapkan prinsisp-prinsip kebebasan. Diantaranya adalah Ketika terjadi Fathu Makkah, Nabi dan para pengikutnya tidak melakukan tindakan balas dendam dan tidak pula memaksa orang-orang kafir Quraisy untuk memeluk agama Islam. Para kepala suku masyarakat Arab di jazirah Arab berbondongbondong kepada nabi dan dengan kesadaran sendiri yang mendalam, mereka menyatakan diri memeluk agama Islam.32 Prinsip-prinsip kebebasan beragama ini pulalah yang telah dipraktekkan di Madinah oleh Nabi Muhammad Saw ketika beliau meletakkan dasar-dasar kerukunan hidup antar umat Islam, komunitas Yahudi dan komunitas non-muslim lewat piagam Madinah yang telah disepakati oleh para wakil dari masing-masing kelompok. Piagam Madinah sebagaimana dikenal dalam sejarah, merupakan suatu piagam politik pertama di dunia yang memuat dasar-dasar toleransi dan kebebasan agama yang dalam ajaran Islam sangat dijunjung tinggi sebagai salah satu hakhak asasi manusia. Dengan demikian, ide tentang toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragam sebenarnya memiliki akar-akar histories yang sangat kuat dalam struktur ajaran Islam dan menemukan bukti-bukti yang jelas dan nyata dalam praktek kehidupan Nabi Muhammad Saw. [5]Begitu pula ketika yerussalem masuk dalam kekuasaan Islam, Umar Ibn Khatthab memberikan kebebasan beragama kepada kelompok-kelompk non-muslim dan membiarkan rumahrumah ibadah (gereja dan sinagog) tetap berfungsi seperti sediakala. Sebagaimana kita lihat Yerussalem sekarang ini mempunyairumah-rumah ibadah dari berbagai agama (Islam, Kristen dan Yahudi) yang diwarisi dari sejarah toleransi umat Islam di masa lampau. Begitu pula ketika Amru Ibn Ash berhasil menaklukkan negeri Mesir, tidak terjadi pemaksaan oleh umat Islam kepada penduduk setempat untuk memeluk agama Islam. Keberadaan komunitas Kristen di Mesir dewasa ini yang diperlakukan dengan baik dan adil oleh pemerintah dan rakyat mesir merupakan bukti nyata tentang toleransi umat Islam terhadap kelompok minoritas, dan keadaan ini sebenarnya merupakan kesinambungan dari warisan sejarah toleransi umat Islam di masa lampau. Konsep toleransi (tasamuh) yang merupakan sikap membiarkan,mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Bahasa Arab menterjemahkan dengan "tasamuh"', berarti saling mengizinkan, saling memudahkan.
Dengan demikian, toleransi dapat diartikan memberikan kemerdekaan kepada golongan kecil untuk menganut dan menyatakan pandangan-pandangan politik dan agamanya, memberikan hakhak istimewa seperti yang diperoleh golongan besar.35 Toleransi berarti membolehkan, membiarkan yang pada prinsipnya tidak perlu terjadi. Jadi toleransi mengandung konsesi, artinya, pemberian yang hanya didasarkan kepada kemurahan dan kebaikan hati, bukan didasarkan kepada hak. Jelaslah bahwa toleransi terjadi dan berlaku karena terdapat perbedaan prinsip, dan dalam menghormati perbedaan atau prinsip orang lain iru hendaklah tanpa mengorbankan prinsip sendiri. Maka toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama bukanlah toleransi dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan perwujudan sikap keberagamaan pemeluk suatu agama dalam pergaulan hidup antara orang yang tidak seagama, dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum.36 Suatu tanda bahwa ada sikap dan suasana toleransi di antara sesama manusia, atau katakanlah di antara pemeluk agama yang berbeda ialah ketika adanya sikap mengakui hak setiap orang, menghormati keyakinan orang lain, agree in disagreement atau setuju dalam perbedaan, saling mengerti dan adanya kesadaran serta kejujuran.[6] Kita harus mampu mensosialisasikan semangat ajaran serta keteladanan Nabi Muhammad Saw. Toleransi dan moderasi yang beliau ajarkan harus senantiasa menjadi acuan dan pedoman dalam interaksi kita dengan umat agama lain. Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin memiliki perspektif yang konstruktif terhadap perdamaian dan kerukunan hidup yang merupakan tujuan dari multikulturaUsme. Dalam Al-Qur'an,  manusia digolongkan menjadi tiga golongan; kaum muslim, ahl al- Kitab, dan golongan di luar Muslim dan ahl al-Kitab, yaitu golongan watsany (pagan). Menurut al-Qur'an, semua golongan tersebut mempunyai tempat dan kedudukan tersendiri dalam hubungan sosial dengan umat Islam.38 Jika ditengok kebelakang, dalam sejarah Islam, pengalaman mengenai pluralisme agama, setidaknya dalam pengertian aktual pluralitas, telah berkembang sejak permulaan sejarah. Hal in terekam dalam al-Qur'an yang menyebut ahl al-Kitab sebagai suaru kategori orang lain agama (the religion others). Di Madinah, ketika Nabi Muhammad hijrah bersama para pengikutnya yang merupakan orang-orang Muslim awal, ditemukan kelompok-kelompok suku Aus dan Khazraj, yang kemudian memeluk agama Islam, dan komunitas Yahudi yang terdiri lebih dari dua puluh satu suku.39 Kedua komunitas agama ini kemudian dimasukkan kedalam kategori "orang lain agama" yang diakui dan diterima kehadirannya dalam komunitas muslim. Didalam Tradisi Islam terdapat beberapa qarinah (indikasi) yang menunjukkan pengakuan terhadap orang lain agama sebagaimana dapat dilihat berikut ini:40
1. Konsep utama dalam Piagam Madinah tidak hanya meliputi orang-orang muslim tetapi juga meliputi orang lain agama. Dalam pasal 25 dari piagam tersebut dinyatakan:
"Bahwa orang-orang Yahudi Bani 'Auf adalah satu umat bersama orang-orang mukmin; bagi orang-orang Yahudi itu agama mereka dan bagi orang-orang Mukmin agama mereka. (Ketentuan ini berlaku bagi) klien-klien dan diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang berlaku zhalim dan bertindak salah, maka ia tidak lain hanya membawa keburukan atas dirinya dan keluarganya". Ruslani, Masyarakat kitab..., him. 8-9.
Kunfirmasi terhadap kenyataan sejarah Madinah ini dapat dirujuk pada beberapa ayat dalara al-Qur'an, misalnya firman Allah yang artinya: "Sesungguhnya ini adalah umatmu, umat yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, maka bertakzualah kepada-Ku". (23:52)
2.  hukum Islam memberikan pengakuan yang tegas terhadap orang lain agama (dalam hal ini Ahl al-Kitab). Dua aspek hukum Islam yang sangat erat kaitannyta dengan hubungan Muslim-orang lain ( Muslim-other relations), yaitu hukum makanan dan perkawinan, menunjukkan sifat inklusif Islam. Dalam surat Al-Maidah ayat 5 dinyatakan bahwa makanan (sembelihan) "orang-orang yang di beri kitab" adalah halal bagi Muslim. Ayat yang sama juga menyatakan bahwa laki-laki Muslim boleh mengawini ahl al- Kitab tersebut.
3. Fikih sebagai terjemahan dari nilai-nilai syari'ah juga memberikan pengakuan yang tegas terhadap kehadiran orang lain agama dalam komunitas Islam.
4. Islam bahkan mengakui spiritualitas Ahlul Kitab seperti tercermin dalam firman Allah QS. Ali Imran (3): 113-115 "Mereka tidaklah sama; diantara Ahlul Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah beberapa waktu di malam hari sembari melakukan sujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari Kemudian, memerintahkan yang ma'ruf, mencegah yang mungkar dan bergegas dalam (mengerjakan) kebajikan; dan mereka itu termasuk orang-orang yang shaleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka mereka tiada sekali-sekali dihalangi (menerima pahala)-nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa." 255
Berdasarkan keterangan diatas dapat dipahami bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin sudah mengembangkan prinsip-prinsip multikulturalisme jauh sebelum wacana multikulturalisme
itu muncul. Islam adalah agama yang sempurna, didalamnya ada aturan-aturan tentang urusan dunia dan akhirat. Diantaranya adalah terdapat dasar-dasar peraturan untuk hidup berdampingan secara damai dengan siapa pun. Dasar-dasar membina masyarakat damai secara umum, yakni termasuk kepada golongan selain Islam memang ada dalam al-Qur'an dan Hadits Nabi Muhammad Saw.
Di antaranya adalah:
- "Bukan orang mu'min, orang yangsuka mencela, suka melaknat, perbuatannya keji dan rendah budinya". (H.R. Turmitdzy).
- "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah satu golongan menganggap rendah kepada golongan yang lain, sebab barangkali merekalah justru yang lebih baik, dan perempuan jangan menganggap rendah kepada perempuan yang lain pula, sebab barangkali merekalah yang lebih baik, dan janganlah kamu mencela diri-diri kamu serta janganlah kamu memanggil kawanmu dengan gelar yang tidak baik, karena seburuk-buruk nama ialah berbuatfasik sesudah beriman. Barang siapa yang tidak mau bertaubat, maka mereka itulah sebenarnya yang berlaku aniaya".
- Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman jauhilah daripada banyak prasangka, karena sebagian prasangka itu adalah dosa, dan jangan pula kamu suka menyelidiki keadaan kawan kamu serta janganlah sebagian kamu mengumpat pada sebagiannya, apakah kamu suka makan daging kawanmu dalam keadaan ia tidak berdaya, padahal kau sebenarnya tidak menyukainya? Takutlah kepada Allah karena sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha menerima taubat dan berkasih saying".
Dengan demikian, seseorang tidak boleh mencela, mencaci, mengumpat menganggap rendah, berprasangka buruk, benci membenti, menghasut, berkata yang menyakitkan orang lain, tidak memandang apakah orang itu Muslim atau bukan Muslim. Semuanya itu adalah untuk menjaga agar persaudaraan dan suasana aman damai tetap berjalan. Maka semua anggota masyarakat hendaknya menghindari hal-hal yang menjurus kepada panasnya suasana masyarakat.
D.  Pendidikan Islam Sebagai Upaya Membangun Multikulturalisme
If a child lives with criticism, he learns to condemn
If a child lives with hostility, he learns to fight
If a child lives with ridicule, he learns to be shy
If a child lives with shame, he learns to feel guilty
If a child lives with tolerance, he learns to be patience
If a child lives with encouragement, he learns to be confident
If a child lives with praise, he learns to appreciate
If a child lives with fairness, he learns justice
If a child lives with security, he learns to have faith
If a child lives with approval, he learns to like himself
If a child lives with acceptance and friendship, he learns to find love in the world.42
***Dorothy Law Notle***
[1] 34. Ibid., him. 202.
 35. Zul Asyri LA, Toleransi Islam Terhadap Agama Lain, Dalam Al-Fikra Jurnal Ilmiah Keislaman Vol I, No.l, (Yogyakarta: IAIN Suka Press, 2002), him. 22.
36. Ibid., him. 13.
Keragaman adalah anugerah Ilahi yang harus dirangkai menjadi simfoni keindahan yang harmonis. Mustahil kita hidup dalam satu kesatuan yang seragam. Anak didik harus dibuka mata dan wawasannya untuk melihat sekian perbedaan yang ada disekitarnya, dimana masyarakat Indonesia merupakan masyarakat ynag heterogen dan plural. Paling tidak heterogenitas dan pluralitas masyarakat itu bisa dilihat dari eksistensi keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaan), dan budaya (kultur). Inilah realitas bangsa yang multi-kultural dan multi religius. Kekayaan ini harus dijaga menjadi keragaman dibawah semangat kebersamaan, bukan penyatuan.[7]
Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan instrumen pendidikan yang mampu mengarahkan kemajemukan ini. Pendidikan Islam adalah salah satu jawaban, karena ia merupakan ranah yang strategis untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat. Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun kesadaran multikulkturalisme serta sebagai salah satu media penting yang dapat membentuk bagaimana corak pandangan hidup seseorang atau masyarakat, apakah pandangan hidup rnereka hanya untuk kepentingan hidup di dunia ini saja atau di akhirat saja atau untuk keduanya. Selain itu lembaga pendidikan dapat membentuk manusia yang cerdas, bermoral, memiliki semangat hidup dan memiliki semangat mengembangkan ilmu dan tekhnologi guna membangun bangsanya. Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Saat ini, dunia pendidikan, dalam hal ini pendidikan Islam yang merupakan bagian dari pendidikan nasional mempunyai dua tangggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya.44 Konsep pendidikan Islam saat ini harus mampu mengembangkan nilai-nilai multikulturalisme yang memang sudah terkandung dalam ajaran Islam. Ada beberapa aspek yang perlu bagaimana seorang anak belajar dari kehidupannya. Tentu anak disini bukan hanya berarti anak dalam pengertian sempit, namun lebih bermakna individu pembelajar (learner). Hal ini menjadi penting karena sikap dan karakter seseorang merupakan akumulasi dari pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil dari proses belajar.[8] diperhatikan dalam meng implementasikan pendidikan Islam.
Pertama, Pendidikan Islam adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman yang ada.
Kedua, Pendidikan Islam merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realitas yang pluralis-multikultural. Hal ini penting dilakukan, karena tanpa adanya usaha secara sistematis, realitas keragaman akan dipahami secara sporadis, fragmentaris atau bahkan memunculkan eksklusivitas yang ekstrem.
Ketiga, pendidikan Islam tidak memaksa atau menolak anak didik karena persoalan identitas suku, agama, ras atau golongan. Mereka yang berasal dari beragam perbedaan harus diposisikan secara setara, egaliter dan diberikan medium yang tepat untuk mengapresiasi karakteristik yang mereka miliki. Masing-masing anak memiliki posisi yang sama dan harus memperoleh perlakuan yang sama.
 Keempat, pendidikan Islam memberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya sense of self kepada setiap anak didik. Ini penting untuk membangun kepercayaan diri, terutama bagi anak didik yang berasal dari kalangan ekonomi kurang beruntung, atau kelompok yang relatif terisolasi.
Pendidikan Agama memang masih banyak menuai kritik. Salah satu faktor penyebab kegagalan pendidikan agama adalah karena praktik pendidikannya lebih banyak memperhatikan aspek kognitif dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan kurang pembinaan aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Atau dalam praktiknya, pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi Islami. Pendidikan agama lebih mengutamakan pengajaran agama daripada pendidikan moral. Padahal intisari pendidikan agama justru terletak pada pendidikan moral tersebut. Selain itu, ada juga beberapa kelemahan lainnya, baik dalam pemahaman materi pendidikan maupun dalam pelaksanaannya, yaitu: 1) dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada paham fatalistik; 2) bidang akhlak yang hanya berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama; 3) bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian; 4) dalam bidang hukum (fiqh) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yan tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum Islam; 5) agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan; 6) orientasi mempelajari al-Qur'an masih cenderung pada kemampuan membeca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna. Siti Malikah Towaf juga mengamati adanya kelemaham-kelemahan pendidikan agama Islam di sekolah, antara lain: 1) pendekatan masih cenderung normatif, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai hidup dalam keseharian; 2) Para guru kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama sehingga pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton; 3) keterbatasan sarana prasarana yang mengakibatkan pengelolaan cenderung seadanya. Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek penting seringkali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas; 4) pendidikan agama lebih menitik beratkan pada aspek korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan hafalan teksteks keagamaan yang sudah ada; 5) dalam sistem evaluasi, bentuk soal-soal ujian agama Islam menunjukkan prioritas utama pada kognitif dan jaranng pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan 'nilai' dan 'makna' spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.48
Orientasi semacam ini menyebabkan terjadinya keterpisahan dan kesenjangan antara ajaran agama dan realitas perilaku pemeluknya. Oleh karena itu diperlukan reorientasi dalam pembelajaran agama Islam. Menurut Mastuhu, jika pendidikan Islam ingin kontekstual dengan perkembangan zaman, paradigma pendidikan yang selama ini dikembangkan harus diubah. perubahan paradigma yang dimaksud adalah mengubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah, dari hafalan ke dialog, dari pasif ke heuristic, dari
 

43. Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarva, 1996), him. 102,
 44. Faisal Ismail, Islam Idealitas..., hal. 193.
45.  Choirul Mahfud, Pendidikan..., him. 208.
46. Ngainun Nairn dan Ahmad Syauqi, Pendidikan Mitltikultural..., him. 53-54.
47. Ibid., 184.






strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi, dari mekanis ke kreatif, dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan menjadi memandang dan menerima ilmu dalam dimensi proses, dan fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, namun mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan keterampilan.[9] Selain itu, paradigma pendidikan yang ditawarkan oleh UNESCO untuk menghadapi masyarakat modern yang semakin kompleks dan plural agaknya perlu dicermati oleh para pelaku dan pemerhati pendidikan Islam. Paradigma yang ditawarkan tersebut adalah bahwa proses pendidikan bukan hanya mengarahkan dan membimbing peserta didik untuk learning to think (berfikir), learning to do (berbuat), dan learning to be (menjadi) saja, namun proses pendidikan juga hendaknya dapat membentuk peserta didik untuk learning to live together (hidup bersama) dengan orang lain.51 Tiga paradigma pertama cenderung mengoptimalkan peserta didik           sebagai individu, baik yang menyangkut ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Sedangkan paradigma yang keempat adalah upaya mengoptimalkan potensi sosial. Bahwa manusia tidak hidup sendirian, disekitarnya banyak orang yang mempunyai kedudukan yang sama di dunia meskipun berbeda jenis kelamin, agama, warna kulit maupun etnis. Inilah sebenarnya yang menjadi tantangan paling serius bagi pendidikan Islam pada era globalisasi. Karenanya, pendidikan Islam dalam pelaksanaannya paling tidak metodologi pengajaran, silabi dan kurikulumnya harus memenuhi tiga hal berikut ini, yairu:
1. Membongkar kurikulum yang eksklusif doktriner dengan kurikulum yang pluralis yang mampu membebaskan peserta didik keluar dari pandangan eksklusif. Melihat fakta sosial yang berisikan banyak konflik bernuansa SARA, maka pendidikan agama harus direvisi dari konsep indoktrinasi menjadi relevansi. Artinya pendidikan agama harus dikembangkan bukan hanya indoktrinasi berupa ajaran surga-neraka, baik-buruk, halalharam, mukmin-kafir tetapi juga relevansinya yakni berkaitan dengan kehidupan sehari-hari sehingga akan bisa dihayati dan diamalkan. Pendidikan agama harus mengajarkan pengetahuan menjadi pengetahuan yang fungsional, artinya pengetahuan yang membantu orang untuk menanggapi, menilai dan menemukan sikap dalam hidup. Oleh karena itu pengajaran agama sebaiknya bertitik tolak dari dan dikaitkan kepada situasi hidup kongkret  sehari-hari, seperti bagaimana berfikir dan bertindak baik untuk diri sendiri maupun orang lain, berhubungan dengan orang lain, bermasyarakat, toleransi, hidup dalam masyarakat plural dan sejenisnya.
2. Porsi moralitas dan etika universal harus diberikan secara lebih proporsional dengan pengajaran ritualitas-formalis. Sebab, dititik inilah setiap agama dapat bertemu dalam saru tujuan. Karena mustahil agama mengajak penganutnya untuk berbuat jelek terhadap orang lain. Harapannya sejak dini peserta didik telah diperkenalkan untuk bekerjasama dan beraksi sosial tanpa kenal batas agama. Kalau selama ini pendidikan agama lebih menekankan pada aspek keshalihan vertikal (aspek ritual), maka harus diperbaharui dengan menekankan baik aspek keshalihan vertikal maupun horizontal. Dengan arah pendidikan seperti itu diharapkan anak didik disamping tetap akan memiliki keimanan yang benar sesuai dengan agamanya, juga memiliki sikap toleransi yang tinggi seperti yang dituntut oleh kondisi masyarakat yang plural.
3. Peserta didik perlu diberi wawasan yang cukup mengenai agamaagama lain, karna ketidakmengertian terhadap hal tersebut sering kali menimbulkan asumsi miring bahkan negatif terhadap agama lain. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang plural ini, tentu saja sikap hidup yang inklusif sangat diperlukan dalam hidup bersama. Sementara sikap eksklusif harus dijauhi karena akan menimbulkan prasangka, permusuhan dan disintegrasi. Jadi pemahaman keagamaan termasuk pendidikan agama, harus ditekankan pada sikap inklusivitas. Artinya kita boleh berbeda pemahaman dan keyakinan agama, namun tetap bisa hidup rukun dan damai. Sikap yang serba kaku dan mudah menyalahkan orang lain akan mengganggu keharmonisan hidup  sama baik dalam bermasyarakt, berbangsa dan bernegara. Berkaitan dengan tantangan modernitas yang  ian kompleks, terutama dengan pluralitas dan multikulturalitas, selain langkahlangkah tersebut,  erlu juga melakukan beberapa hal yang lain.[10]Pertama, selain memberi uraian tentang ilmu-ilmu keislaman klasik, anak didik perlu juga diperkenalkan dengan persoalan-persoalan modernitas yang arnat kompleks sebagaiman yang dihadapi umat Islam sekarang ini dalam hidup keseharian mereka. Kedua, pengajaraan ilmu-ilmu keislaman tidak seharusnya selalu  doktrinal, melainkan perlu dikedepankan uraian dimensi histories dari doktrin-doktrin keagamaan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dapat melatih para peserta didik untuk merumuskan ulang pokokpokok rumusan realisasi agama yang sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman serta bagaimana mereka dapat mencari jalan keluar (problem solving) sesuai dengan nilai-nilai keagaamaan Islam yang meraka yakini.      Ketiga, pengajaran yang dulunya hanya bertumpu pada teks (nash) perlu diimbangi dengan telaah yang cukup mendalam dan cerdas terhadap konteks dan realitas, mengingat bahwa nash itu terbatas, sedangkan kejadian-kejadian yang dialami manusia selalu berkembang. Keempat, Penekanan pada aspek kognitif anak hams diimbangai dengan aspek afektif dan psikomotorik. Penghayatan dan internalisasi budi pekerti dan akhlak batiniah yang bernuansa penghayatan tasawuf merupakan sebuah metode pendidikan dan pengajaran yang lebih menekankan pada kematangan dan kedewasaan berpikir dan berprilaku, seperti penanaman sifat rendah hati, kesabaran, toleransi, tenggang rasa, kepuasan batiniah, cara berfikir yang matang dan seterusnya.
Kelima, Pendidikan agama Islam era modernitas tidak lagi memadai jika hanya terfokus pada pembentukan "moralitas individual" yang saleh, namun kurang begitu peka terhadap , "moralitas public". Karena moralitas publik sangat terkait dengan realitas struktur sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial budaya yang mempunyai logika kepentingan sendiri-sendiri. Pendidikan Islam
perlu memasuki diskursus moralitas publik, lantaran sumber kejahatan moral tidak lagi hanya dari individu-individu, melainkan telah bergeser ke struktur jaringan yang sangat kompleks. Dr. Simuh seperti yang dikutip Syamsul Arifin menyatakan pentingnya pendekatan etis-filosofis dan pendekatan Afektif- Partisipatoris dalam pendidikan Againa. Pendekatan etis dibutuhkan untuk memahami nilai-nilai sakral (transendental) dari diktumdiktum Ilahiyah. Sedangkan pendekatan filosofis diorientasikan pada pengembangan daya kritis dan nalar dalam memahami ajaran agama untuk membaca persoalan-persoalan yang tengah terjadi di masyarakat,54 Pendekatan afektif dibutuhkan untuk menanamkan nilai agama kepada anak sebagai kerangka spiritual dan pedoman moral untuk menatap masa depannya. Sedangkan dengan pendekatan partisipatoris ini peserta didik diajak untuk mendiskusikan persoalan-persoalan kehidupan riil yang terjadi di masyarakat yang  sebenarnya memerlukan pemikiran dan telaah kritis sehingga agama benar-benar berfungsi dan masuk dalam perilaku kehidupannya.
Pendidikan agama Islam harus bersifat autentik, selain menyajikan bahan-bahan pengetahuan, juga mengusahakan pengalaman dan penghayatan nilai-nilai didalam situasi dan lingkungan hidup seharihari. Dengan kata lain pendidikan agama hendaknya tidak hanya mementingkan atau menekankan pada ranah kognitif saja dan mengedepankan pendekatan indoktrinisasi yang akhirnya akan melahirkan sikap sikap dogmatis yang ekstrim bukan pendekatan parsipatoris.
Dari segi metode pengajaran, hendaknya hubungan guru dan murid bersifat dialogis-komunikatif. Guru tidak dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar, murid bukan sebagai obyek pengajaran. Namun guru dan murid sama-sama sebagai subyek belajar sehingga suasana belajar di kelas akan dinamis dan hidup. Dalam hal ini pendidikan bisa dimaknai sebagai pemberdayaan manusia agar mandiri dan kreatif. Reorientasi pelaksanaan pendidikan Islam diharapkan dapat menghasilkan out put yang memiliki kesalehan individual juga kesalehan social sebagai modal utama dalam menghadapi kehidupan yang sangat kompleks dengan kondisi masyarakat yang multicultural dan multireligius. Terbentuknya anak didik yang memiliki cakrawala pandang luas, menghargai perbedaan, penuh toleransi, memiliki sikap simpatik, respek, apresiasi dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda serta jauh dari sikap stereotip, egoistic, individualistic dan eksklusif akan menciptakan suasana masyarakat yang bermoral, toleran, damai dan harmoni.




























 

56. Mudjia Rahardjo, Quo Vadis Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2006),hal. 59.




Kesimpulan

Indonesia memiliki masyarakat multikultural yang menyimpan kemajemukan dan keberagaman dalam hal suku bangsa, adat istiadat, kebudayaan, bahasa, agama, cara hidup dan pandangan nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok etnis yang ada dalam masyarakat tersebut. Pluralitas adalah kehendak Sang Pencipta (sunnatullah) agar kehidupan ini dapat berjalan dalam  keseimbangan. Adanya pluralitas dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan masyarakat itu dinamis, penuh warna, tidak membosankan, dan membuat antara yang satu dengan lainnya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Tetapi ketika pluralitas ini tidak mampu dikelola dengan baik, maka ia akan menjadi sumber konflik yang pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya stabilitas dan ketidakharmonisan. Agar keragaman dan perbedaan yang ada dapat dikelola menjadi aset yang akan melahirkan simfoni kehidupan yang harmonis, bukan sebagai sumber perpecahan, maka dibutuhkan instrumen yang tepat untuk dapat mengarahkan kemajemukan yang ada. Pendidikan Islam merupakan wahana yang tepat untuk membangun kesadaran multikulkturalisme serta sebagai salah satu media penting yang dapat membentuk bagaimana corak pandangan hidup seseorang atau masyarakat. Islam sebagai rahmatan lil'alamin memuat nilai-nilai normatif yang sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis-multikultural. Islam sebagai ajaran, begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota sosial. Hal ini terbukti dengan konsep-konsep Islam tentang as-sawiyah atau kesamaan, al-'adalah atau keadilan, al hurriyah atau kebebasan juga tasamuh atau toleransi yang merupakan modal dasar dari teologi multikulturalisme.

SARAN
Dengan pemaparan makalah ini semoga bermanfaat bagi saya khususnya dan juga kita semua sebagai generasi penerus bangsa harus dapat menumbuhkan nilai-nilai multikulturalisme dari jati diri kita sendiri.
Nilai-nilai yang akan membentuk kesadaran multikulturalisme tersebut tidak akan terbentuk dengan sendirinya dalam pribadi pribadi individu, akan tetapi nilai-nilai tersebut harus ditanamkan sejak dini melalui proses pendidikan. Pendidikan Islam yang merupakan bagian dari pendidikan nasional selama ini masih banyak menuai kritik, untuk itu pendidikan Islam harus merubah paradigma pendidikannya agar mampu membentuk generasi-generasi yang bukan saja memiliki keshalehan individual tetapi juga harus memiliki keshalehan sosial. Terbentuknya anak didik yang memiliki cakrawala pandang luas, menghargai perbedaan, penuh toleransi, memiliki sikap simpatik, respek, apresiasi dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda serta jauh dari sikap stereotip, egoistic, individualistic dan eksklusif akan menciptakan suasana masyarakat yang bermoral, toleran, damai dan harmoni. Pada saat inilah pendidikan Islam memberikan kontribusinya kepada stabilitas nasional.
















[1] Alwi Syihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan 1Q9S), him. 40.
2.Musa Asy’arie, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual,(Yogyakarta: Lesfi,2002, hal.10)
3.Afif Nadjih Anies,Islam dalam Perspektif SosioKultural,(Jakarta:Lantabora Press,2005),hal.277
4.Sudarto, H., Konflik Islam Kristen : Menguak Akar Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia,(Semarang:Pustaka Rizqi Putra, 1999), hal. 2-4.
5.M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural; Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi(Yogyakarta: Filar Media, 2005), him. 4.



[2] 6.Sembodo Ardi Widodo, Kajian FHosofis Pendidikan Barat dan Islam, (Jakarta: Nimas Multima, 2003), hlm.170.
7. Ibid, hal. 171
8. Ibid, hal. 171
9. Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Tiara Wacana,
2006), hal. 47.
10. Ibid, hal. 47
11. op cit, hal. 173
[3] 12. H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003), him. 29. 13. Ibid, hal. 50.
13. Ibid. Hal. 50
14. Choirul Mahfiid, Pendidikan Multikultuml, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), him. 75.


[4]19. Zubaedi, Pendidikan Berbasis...., hlm. 65
20. Zakiyuddin Baidhawy,( Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Erlangga, Jakarta,2008), hlm. 44
21.Zubaedi, Pendidikan Berbasis... hlm. 63
22. Choirul Mahfud, Pendidikan.... hlm... 107-108
 23. Faisal Ismail, Islam Idealitas Hahiyah dan Realitas Insaniyah, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999), him. 200.
24.  Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Pcrspektif Sosio Kultural, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), him. 142.

[5] 28. Ibid., him. 282.
29.  Ibid., him. 145.
30.  Faisal Ismail, Islam Idealitas..., him. 201.
31. Ibid;, him. 202.


32. Ibid., him. 202.
33. Zul Asyri LA, Toleransi Islam Terhadap Agama Lain, Dalam Al-Fikra Jurnal Ilmiah


 37. Umar Hasyim, Toleransi dan kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan antar agama, ( surabaya : FT. Bina Ilmu, 1991),hlm. 23-25
38. M.Jandra, Pluralisme Agama Dan Multikulturalisme, Usaha Mencarai Perekat Sosial,” dalam Reinvensi Islam Multikulturalisme,( Surakarta : Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial, 2005 ),hlm. 253
40. Ibid., hlm. 254-255
41. Islam, vol. 3 no.2, Juli 2008.
[8][8]42.  Ibid., him. 351-352.
.



[9]48.  Ibid., him. 184-185.
49. Ibid., him. 185.
50. Abuddin Nata, Peia Keragaman Pemikiran Islam di Indonesian, (Jakarta: FT. Raja Grafindo Persada, 2001), him. 213.
51. Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), him. 49.

52 Sukiman, "Arah Pengembangan Pendidikan Agama Islam pada Era Pluralisme" dalam Jurnal Pendidikan agama Istnui, Vol I, No.2, 2004, hal. 132.
53.  M. Amin Abdullah dkk, Tafsir baru Studi Islam Dalam Era Multi Kultural, Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta, 2003, him. 361.
54. op cit, hal. 132
[10] 55. bersifatM. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikuitural-Multireligius, (Jakarta: PSAP, 2005), him. 78-81.


4 komentar:

  1. terimakasih atas informasinya..

    BalasHapus
  2. PENDAFTARAN BELA NEGARA
    KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU

    Untuk Wali Wali Allah dimana saja kalian berada
    Sekarang keluarlah, Hunuslah Pedang dan Asahlah Tajam-Tajam

    Api Jihad Fisabilillah Akhir Zaman telah kami kobarkan
    Panji-Panji Perang Nabimu sudah kami kibarkan
    Arasy KeagunganMu sudah bergetar Hebat Ya Allah,

    Wahai Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang
    hamba memohon kepadaMu keluarkan para Muqarrabin bersama kami

    Allahumma a’izzal islam wal muslim wa adzillas syirka wal musyrikin wa dammir a’da aka a’da addin wa iradaka suui ‘alaihim yaa Robbal ‘alamin.

    Wahai ALLAH muliakanlah islam dan Kaum Muslimin, hinakan dan rendahkanlah kesyirikan dan pelaku kemusyrikan dan hancurkanlah musuh-mu dan musuh agama-mu dengan keburukan wahai RABB
    semesta alam.

    Allahumma ‘adzdzibil kafarotalladzina yashudduna ‘ansabilika, wa yukadzdzibuna min rusulika wa yuqotiluna min awliyaika.

    Wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. orang-oramg kafir yang telah menghalang-halangi kami dari jalan-Mu, yang telah mendustakan-Mu dan telah membunuh Para Wali-Mu, Para Kekasih-Mu

    Allahumma farriq jam’ahum wa syattit syamlahum wa zilzal aqdamahum wa bilkhusus min yahuud wa syarikatihim innaka ‘ala kulli syaiin qodir.

    Wahai ALLAH pecah belahlah, hancur leburkanlah kelompok mereka, porak porandakanlah mereka dan goncangkanlah kedudukan mereka, goncangkanlah hati hati mereka terlebih khusus dari orang-orang yahudi dan sekutu-sekutu mereka. sesungguhnya ENGKAU Maha Berkuasa.

    Allahumma shuril islam wal ikhwana wal mujahidina fii kulli makan yaa rabbal ‘alamin.

    Wahai ALLAH tolonglah Islam dan saudara kami dan Para Mujahid dimana saja mereka berada wahai RABB Semesta Alam.
    Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin

    Wahai Wali-wali Allah Kemarilah, Datanglah dan Berkujunglah dan bergabunglah bersama kami kami Ahlul Baitmu

    Al Qur`an adalah manhaj (petunjuk jalan) bagi para Da`i yang menempuh jalan dien ini sampai hari kiamat, Kami akan bawa anda untuk mengikuti jejak langkah penghulu para rasul Muhammad SAW dan pemimpin semua umat manusia.

    Hai kaumku ikutilah aku, aku akan menunjukan kepadamu jalan yang benar (QS. Al-Mu'min :38)

    Wahai para Ikwan Akhir Zaman, Khilafah Islam sedang membutuhkan
    para Mujahid Tangguh untuk persiapan tempur menjelang Tegaknya Khilafah yang dijanjikan.

    Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)

    Masukan Kode yang sesuai dengan Bakat Karunia Allah yang Antum miliki.

    301. Pasukan Bendera Hitam
    Batalion Pembunuh Thogut / Tokoh-tokoh Politik Musuh Islam

    302. Pasukan Bendera Hitam Batalion Serbu
    - ahli segala macam pertempuran
    - ahli Membunuh secara cepat
    - ahli Bela diri jarak dekat
    - Ahli Perang Geriliya Kota dan Pegunungan

    303. Pasukan Bendera Hitam Batalion Misi Pasukan Rahasia
    - Ahli Pelakukan pengintaian Jarak Dekat / Jauh
    - Ahli Pembuat BOM / Racun
    - Ahli Sandera
    - Ahli Sabotase

    304. Pasukan Bendera Hitam
    Batalion Elit Garda Tentara Khilafah Islam

    305. Pasukan Bendera Hitam Batalion Pasukan Rahasia Cyber Death
    - ahli linux kernel, bahasa C, Javascript
    - Ahli Gelombang Mikro / Spektrum
    - Ahli enkripsi cryptographi
    - Ahli Satelit / Nuklir
    - Ahli Pembuat infra merah / Radar
    - Ahli Membuat Virus Death
    - Ahli infiltrasi Sistem Pakar

    Semua Negara adalah Negara Dajjal, sebab itu
    Bunuhlah Tentara , Polisi dan semua pendukung negara dajjal dimana saja berada

    Disebarluaskan
    MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
    PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
    KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU

    Syuaib Bin Shaleh
    singahitam@hmamail.com

    BalasHapus
  3. PESAN IMAM MAHDI MENYERU UNTUK PARA IKHWAN
    BENTUKLAH PASUKAN MILITER PADA SETIAP ZONA ISLAM
    SAMBUTLAH UNDANGAN PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
    Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    Untuk para Rijalus Shaleh dimana saja kalian berada,
    bukankah waktu subuh sudah dekat? keluarlah dan hunuslah senjata kalian.

    Dengan memohon Ijin Mu Ya Allah Engkaulah Pemilik Asmaul Husna, Ya Dzulzalalil Matien kami memohon dengan namaMu yang Agung
    Pemilik Tentara langit dan Bumi perkenankanlah kami menggunakan seluruh Anasir Alam untuk kami gunakan sebagai Tentara Islam untuk Menghancurkan seluruh Kekuatan kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan yang sudah merajalela di muka bumi ini hingga Dien Islam saja yang berdaulat , tegak perkasa dan hanya engkau saja Ya Allah yang berhak disembah !

    Firman Allah: at-Taubah 38, 39
    Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu jika dikatakan orang kepadamu: “Berperanglah kamu pada jalan Allah”, lalu kamu berlambat-lambat (duduk) ditanah? Adakah kamu suka dengan kehidupan didunia ini daripada akhirat? Maka tak adalah kesukaan hidup di dunia, diperbandingkan dengan akhirat, melainkan sedikit
    sekali. Jika kamu tiada mahu berperang, nescaya Allah menyiksamu dengan azab yang pedih dan Dia akan menukar kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tiada melarat kepada Allah sedikit pun. Allah Maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu.

    Berjihad itu adalah satu perintah Allah yang Maha Tinggi, sedangkan mengabaikan Jihad itu adalah satu pengingkaran dan kedurhakaan yang besar terhadap Allah!

    Firman Allah: al-Anfal 39
    Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi, dan jadilah agama untuk Allah.

    Peraturan dan undang-undang ciptaan manusia itu adalah kekufuran, dan setiap kekufuran itu disifatkan Allah sebagai penindasan, kezaliman, ancaman, kejahatan dan kerusakan kepada manusia di bumi.
    Ketahuilah !, Semua Negara Didunia ini adalah Negara Boneka Dajjal

    Allah Memerintahkan Kami untuk menghancurkan dan memerangi Pemerintahan dan kedaulatan Sekular-Nasionalis-Demokratik-Kapitalis yang mengabdikan manusia kepada sesama manusia karena itu adalah FITNAH

    Firman Allah: al-Hajj 39, 40
    Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, disebabkan mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka itu. Iaitu
    orang-orang yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mengatakan: Tuhan kami ialah Allah

    Firman Allah: an-Nisa 75
    Mengapakah kamu tidak berperang di jalan Allah untuk (membantu) orang-orang tertindas. yang terdiri daripada lelaki, perempuan-perempuan dan kanak-kanak .
    Dan penindasan itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan(al-Baqarah 217)

    Firman Allah: at-Taubah 36, 73
    Perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagai mana mereka memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahawa Allah bersama orang-orang yang taqwa. Wahai Nabi! Berperanglah terhadap orang-orang kafir dan munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.

    Firman Allah: at-Taubah 29,
    Perangilah orang-orang yang tidak beriman, mereka tiada mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tiada pula beragama dengan agama yang benar, (iaitu) diantara ahli-ahli kitab, kecuali jika mereka membayar jizyah dengan tangannya sendiri sedang mereka orang yang tunduk..

    Bentuklah secara rahasia Pasukan Jihad Perang setiap Regu minimal dengan 3 Anggota maksimal 12 anggota per desa / kampung.
    Bersiaplah menjadi Tentara Islam akhir Zaman sebelum anda dibantai oleh Zionis,Salibis,Munafiq dan Musyrikin
    Siapkan Pimpinan intelijen Pasukan Komando Panji Hitam secara matang terencana, lakukan analisis lingkungan terpadu.

    Apabila sudah terbentuk kemudian Daftarkan Regu Mujahid
    ke Markas Besar Angkatan Perang Pasukan Komando Bendera Hitam
    Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)

    email : seleksidim@yandex.com

    Dipublikasikan
    Markas Besar Angkatan Perang
    Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    BalasHapus