BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Praktek
kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme, radikalisme, hingga
terorisme, akhir-akhir ini semakin marak di tanah air. Kesatuan dan persatuan
bangsa saat ini sedang diuji eksistensinya. Berbagai indikator yang
memperlihatkan adanya tanda-tanda perpecahan bangsa, dengan transparan mudah
kita baca. Konflik di Ambon, Papua, maupun Poso, seperti api dalam sekam,
sewaktu-waktu bisa meledak, walaupun berkali-kali bisa diredam. Peristiwa
tersebut, bukan saja telah banyak merenggut korban jiwa, tetapi juga telah
menghancurkan ratusan tempat ibadah (baik masjid maupun gereja).
Bila
kita amati, agama seharusnya dapat menjadi pendorong bagi ummat manusia untuk
selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh ummat
di bumi ini. Namun, realitanya agama justru menjadi salah satu penyebab
terjadinya kekerasanan dan kehancuran ummat manusia. Oleh karena itu,
diperlukan upaya-upaya preventif agar masalah pertentangan agama tidak akan terulang
lagi di masa yang akan datang. Misalnya, dengan mengintensifkan forum-forum
dialog antar ummat beragama dan aliran kepercayaan (dialog antar iman),
membangun pemahaman keagamaan yang lebih pluralis dan inklusif, dan memberikan
pendidikan tentang pluralisme dan toleransi beragama melalui sekolah (lembaga
pendidikan).
Pada
sisi yang lain, pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah pada umumnya
juga tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung
berlawanan. Akibatnya konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya
legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah
daerah yang rawan konflik. Hal ini membuat konflik mempunyai akar dalam
keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial kekerasan semakin
sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.
Realita
tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama baik di sekolah umum maupun sekolah
agama lebih bercorak eksklusive, yaitu agama diajarkan dengan cara menafikan
hak hidup agama lain, seakan-akan hanya agamanya sendiri yang benar dan
mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak
hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun minoritas. Seharusnya pendidikan
agama dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal
yang ada dalam agama-agama sekaligus mengembangkan teologi inklusif dan
pluralis. Berkaitan dengan hal ini, maka penting bagi institusi pendidikan
dalam masyarakat yang multikultur untuk mengajarkan perdamaian dan resolusi
konflik seperti yang ada dalam pendidikan multikultural.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Tata Pergaulan Masyarakat Indonesia ?
2.
Apakah Pengertian Pendidikan Islam dan
Multikulturalisme ?
3.
Bagaimana Islam dan Multikulturalisme ?
4.
Bagaimanakah Pendidikan Islam Sebagai Upaya Membangun Multikulturalisme?
C.
TUJUAN
Sejalan dengan rumusan masalah, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. menganalisis
tentang Urgensi Pendidikan di dalam Tata Pergaulan masyarakat Indonesia.
2. menganalisis
Pendidikan Islam dan Multikulturalisme yang ada di Indonesia.
3. menganalisis
upaya Pendidikan Islam guna Membangun Multikulturalisme tata Pergaulan
Masyarakat Indonesia.
D. MANFAAT
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi
Penulis
Pembuatan
makalah ini telah memberikan berbagai pengalaman bagi penulis, seperti
pengalaman dalam mengumpulkan bahan dari berbagai sumber baik buku-buku maupun
artikel-artikel yang relevan dengan masalah yang dikaji. Selain itu penulis
juga mendapatkan berbagai pengalaman mengenai teknik penulisan makalah, teknik
pengutipan, dan teknik penggabungan materi dari berbagai sumber.
2. Bagi Pembaca
Strategi pendidikan Islam tidak hanya
bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan
tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mudah memahami pelajaran yang
dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran
Agaknya
menarik perhatian kita untuk berfikir ulang tentang peran agama, lebih khusus
pendidikan agama Islam dalam mewarnai kehidupan masyarakat yang majemuk ini.
Pendidikan Islam harus mampu menumbuhkan kesadaran
pluralisme-multikulturtalisme sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang ada
pada sesama manusia, apa pun jenis perbedaannya, serta bagaimana agar perbedaan
tersebut diterima sebagai hal yang alamiah (natural, sunnatullah) dan
tidak menimbulkan tindakan diskriminatif, sebagai buah dari pola perilaku dan
sikap hidup yang mencerminkan iri hati,dengki dan buruk sangka. Makalah ini
berusaha membahas tentang urgensi pendidikan Islam dalam membangun kesadaran
multikulturalisme dalam masyarakat multikultural yang sarat dengan berbagai
permasalahan seperti telah disebutkan. Dengan problem-problem tersebut, apa
yang bisa ditawarkan oleh lembaga pendidikan Islam untuk turut andil
mengatasinya sehingga pada akhirnya pendidikan Islam mampu memberikan
kontribusinya terhadap stabilitas nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tata Pergaulan Masyarakat Indonesia
Indonesia
adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari
pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis yang
begitu beragam dan luas. Sekarang ini jumlah pulau yang ada di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesiia (NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil.
Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku
yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu, mereka juga
menganut agama dan kepercayaan yang beragama seperti Islam, Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan.1 Kemajemukan
dan keberagaman agama, suku bangsa, adat istiadat, kebudayaan, bahasa, cara
hidup dan pandangan nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok etnis yang ada
dalam masyarakattersebut terikat dalam motto Bhinneka Tunggal Ika yang artinya beragam
dalam satu ikatan. Pluralitas bukan hal yang merugikan bagi keberadaan
kehidupan. Pluralitas adalah kehendak Sang Pencipta (sunnatullah) agar
kehidupan ini dapat berjalan dalam keseimbangan.
Adanya
pluraliatas dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan
masyarakat itu dinamis, penuh warna, tidak membosankan, dan membuat antara yang
satu dengan lainnya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Dengan kata lain
pluralitas meniperkaya kehidupan dan menjadi esensi kehidupan masyarakat
sehingga tindakan untuk menolak ataupun menghilangkan adanya pluralitas, pada
hakekatnya menolak esensi kehidupan. [1]Sungguhpun demikian, kita juga
tidak dapat menutup mata pada adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat
yang plural seringkali terjadinya konflik yang pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya
stabilitas dan ketidakharmonisan. Di Indonesia seringkali muncul fenomena
kekerasan seperti konflik etnis, konflik antar umat beragama, konflik
kepentingan antar kelompok/golongan dan sebagainya yang kita kenal dengan
konflik berbasis SARA. Salah satu contoh masalah yang dapat kita temui dalam
kehidupan beragama yang plural ini, adalah kecurigaan dan kesalahfahaman dari satu
penganut agama terhadap sikap dan perilaku agama lain, malah juga terhadap
sesama penganut agama tertentu,3 Hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu
menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagai bagian dari
multikulturalisme itu. Dari apa yang dikemukakan tadi, masalah pluralitas etnik
dan pluralitas agama memang memerlukan pendekatan baru untuk menemukan jalan
terobosan yang lebih efektif dalam upaya bersama menyelamatkan keutuhan bangsa
dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Tertanamnya kesadaran
multikultural dan piuralitas masyarakat, akan menghasilkan corak paradigma
beragama yang hanief dan toleran. Berbagai strategi perlu diusahakan, baik
melalui bidang sosial, politik, budaya, ekonomi ataupun pendidikan. 4 Berkaitan
dengan hal ini, maka pendidikan Islam merupakan salah satu solusi yang bisa
menawarkan alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang
B. Pengertian Pendidikan Islam dan
Multikulturalisme
1. Pengertian pendidikan
Islam
Istilah
pendidikan dalam perspektif Islam dapat diderivasi dari dua istilah sentral
yang secara tekstual dan historis telah dipakai sampai sekarang, yaitu tarbiyah
dan ta'dib. Kedua istilah ini mempunyai perbedaan-perbedaan yang
cukup mendasar.6 [2]Naquib
Al-Atas seperti yang dikutip Sembodo Ardi widodo mengatakan bahwa secara
semantik tarbiyah mempunyai arti mengasuh, menanggung, memberi makan,
memelihara, membuat, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan
menjinakkan. Istilah tarbiyah dalam hal ini tidak hanya ditujukan untuk manusia
saja tetapi juga berlaku untuk spesies lainnya, seperti mineral, tanaman dan
hewan.7 Sedangkan istilah ta'dib menurut Naquib, istilah inilah yang paling
tepat untuk menunjukkan proses pendidikan dalam Islam, karena istilah ta'dib
merupakan sebuah sistem Islam yang di dalamnya terdapat tiga sub sistem penting
yang saling berkaitan yaitu pengetahuan ('Urn), pengajaran (ta'lim) dan
pengasuhan yang baik (tarbiyah). Jadi tarbiyah adalah bagian atau
sub sistem dari ta'dib itu sendiri.
Pengertian
pendidikan Islam selanjutnya banyak diinterpretasikan oleh para kalangan ahli
pendidikan dengan tafsirantafsiran yang berbeda.
Di antaranya
adalah:
a)
Abdurrahman
al-Nahlawi, menurutnya bahwa pendidikan Islam merupakan suatu proses penataan
individual dan sosial yang dapat menjadikan seseorang tunduk dan taat sekaligus
menerapkan Islam secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat. Berdasarkan
pengertian ini, pendidikan Islam bertugas membimbing manusia agar dapat
menjalankan amanat yang diembannya. Amanat itu bersifat individual dan sosial.9
b) Muhammad Quthb memberi pengertian
pendidikan Islam sebagai usaha untuk melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap
wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari segi kehidupan
fisik maupun mentalnya, dalam melaksanakan kegiatannya di bumi ini. Dalam hal
ini Quthb memandang pendidikan Islam sebagai suatu aktifitas yang berusaha memahami
diri manusia secara total melalui berbagai pendekatan dalam rangka menjalankan
kehidupan di dunia.10
c) Zakiah Darajat seperti yang dikutip oleh
Sembodo Ardi Widodo menitikberatkan pendidikan Islam pada dua segi. Pertama, pendidikan
Islam lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud
dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan dirinya sendiri maupun orang lain.
Kedua, Pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga
praktis. Artinya, pendidikan Islam merupakan pendidikan iman dan pendidikan
amal. Karena ajaran Islam berkaitan dengan ajaran sikap dan tingkah laku
individu dan masyarakat, maka pendidikan Islam juga merupakan pendidikan
individu dan masyarakat.11 Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa pendidikan Islam pada hakikatnya adalah suatu proses pendidikan
yang sifatnya menyeluruh dan terpadu yang mengarah pada pembentukan kepribadian
peserta didik baik itu individu maupun masyarakat yang berdasarkan pada ajaran
Islam.
Berdasarkan
pengertian-pengertian di atas, maka pendidikan Islam memiliki tujuan antara 12
dan tujuan akhir.
Dalam hal ini Menurut Azyumardi Azra tujuan
antara adalah tujuan yang pertama-tama hendak dicapai dalam proses pendidikan
Islam. Tujuan itu menyangkut perubahan-perubahan yang dikehendaki dalam proses
pendidikan Islam Muhammad Al-Toumy al- Syaibany membagi tujuan antara tersebut
menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Tujuan
individual, tujuan yang berkaitan dengan kepribadian individu dan
pelajaran-pelajaran yang diterimanya. Tujuan ini menyangkut perubahan-perubahan
yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, pertumbuhan
kepribadian dan persiapan peserta didik dalam menjalani kehidupan di dunia dan
akhirat.
2. Tujuan sosial,
yaitu tujuan yang berkaitan dengan kehidupan sosial peserta didik secara
keseluruhan. Tujuan ini menyangkut perubahan-perubahan yang dikehendaki pada
fase-fase pertumbuhan, pengayaan pengalaman, dan kemajuan peserta didik dalam
menjalani kehidupan bermasyarakat
3. Tujuan
profesional, yaitu tujuan yang berkaitan dengan pendidikan sebagai ilmu, seni,
profesi dan sebagai suatu aktifitas diantara aktifitas-aktifitas lain yang ada
dalam masyarakat. Proses pendidikan Islam pada akhirnya berusaha mencapai ketiga
tujuan antara diatas secara terpadu dan terarah, sehingga dapat mendukung
pencapaian tujuan akhir dari pendidikan Islam, yaitu terbentuknya kepribadian
Muslim paripurna sehingga orang tersebut dapat memfungsikan dirinya secara
individual maupun sosial demi kebahagiaan di dunia dan akhirat yang merupakan
tujuan hidup setiap muslim.[3]
2. Pengertian
Multikulturalisme
Akar
kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme
dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya) dan isme (aliran/paham).
Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang
hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.15 Ada
banyak ilmuwan dunia yang memberikan definisi kultur dan sangat beragam,
walaupun demikian ada beberapa titik kesamaan yang mempertemukan keragaman
definisi yang ada tersebut. Salah
satunya dapat dilakukan lewat pengidentifikasian karakbaik berkenaan dengan
pribadi peserta didik, masyarakat maupun lingkungan. Keberadaan tujuan antara
juga harus jelas sehingga keberhasilan pendidikan
Islam dapat diukur
secara bertahap.
teristiknya.
Conrad P. Kottak menjelaskan bahwa kultur memiliki beberapa karakter khusus,
antara lain:16
1.
kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus.
2.
kultur adalah sesuatu yang dipelajari.
3.
Kultur adalah sebuah simbol
4.
Kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami
5. Kultur adalah sesuatu yang dilakukan
secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat.
6.
Kultur adalah sebuah model
7.
Kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif
Dari
karakteristik ini, dapat dikembangkan pemahaman terhadap multikulturalisme,
yaitu sebuah paham tentang kultur yang beragam. Dalam keragaman kultur ini
meniscayakan pemahaman, saling pengertian, toleransi dan sejenisnya, agar
tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan.
Sementara Abdullah menyatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah paham yang
menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan
hakhak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama
multukulturalisme adalah pada kesetaraan budaya.17 Sosiolog UI Parsudi Suparlan
menyatakan bahwa, multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan
perubahan zaman. Alasanya, multikulturalisme adalah sebuah idiologi yang
mengagungkan perbedaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan
mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang
mengakomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan kesukubangsaan.18
Dalam
konteks pendidikan Islam, multikultural adalah sikap menerima kemajemukan
ekspresi budaya manusia dalam memahami pesan utama agama, terlepas dari rincian
anutannya. Basis utamanya dieksplorasi dengan melandaskan pada ajaran Islam, sebab
dimensi Islam menjadi dasar pembeda sekaligus titik tekan dari konstruksi
pendidikan ini. Penggunaan kata pendidikan Islam tidak dimaksudkan untuk
menegasikan ajaran agama lain atau pendidikan non Islam, tetapi justru untuk
meneguhkan bahwa Islam dan pendidikan Islam sarat dengan ajaran yang menghargai
dimensi pluralis-multikultur al ,
Multikulturalisme
sebenarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan
dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku,
etnis dan agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman kita bahwa sebuah
bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan
budaya-budaya yang beragam (multikultur). Bangsa yang multikultur adalah bangsa
yang kelompok-kelompok etnik atau budaya yang ada dapat hidup berdampingan
secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan
untuk menghormati budaya lain. Pluralitas itu juga dapat ditangkap oleh agama, selanjutnya
agama mengatur untuk menjaga keseimbangan masyarakat yang plural tersebut Paradigma
multikulturalisme memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi
dan
respek terhadap budaya dan agama agama orang lain (the others). Atas
dasar ini maka penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari
masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman
identitas budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamaian. Diharapkan
dengan kesadaran dan kepekaan terhadaap kenyataan kemajemukan, pluralitas
bangsa, baik dalam dan etnis, agama, budaya hingga orientasi politik, akan bisa
mereduksi berbagai potensi yang dapat memicu konflik sosial di belakang hari.
Teologi
multikulturalis adalah jalan keluar dari simtom eksklusivisme, kebebalan dan
kekakuan sikap terhadap yang lain. Gagasan multikulturalisme yang dinilai
mengakomodir kesetaraan dan perbedaan merupakan sebuah konsep yang mampu
meredam konflik vertikal dan horizontal dalam masyarakat yang heterogen dimana
tuntutan akan pengakuan atas eksistensi dan keunikan budaya kelompok etnis
sangat lumrah terjadi. Dengan demikian, akan tercipta suatu sistem budaya dan
tatanan sosial yang mapan dalam kehidupan masyarakat yang akan menjadi pilar
kedamaaian sebuah bangsa. Pada bagian fundamental teologi multikulturalis memandang
keragaman sebagai peluang untuk membangun harmoni dan
15. Abdullah,”multikulturalisme”, Kompas, 16 Maret
2006
16. Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat, Upaya
Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem Sosial, ( Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2006 ). Hlm. 61
17. Ngainun Nairin dan
Ahmad Syauqi, Pendidikan
Multikulturalisme....hlm. 51
18. Nanih Mahendrawati
dan Ahmad Syauqi, Pengembangan Masyarakat
Islam. Dari Idiologi, Strategi Samapai Tradisi, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2001), hlm. 34
kerjasama;
saling percaya dan berfikir positif adalah modal sosial membangun kesefahaman;
pengorbanan dari dan untuk kemaslahatan bersama merupakan titik pangkal
jejaring solidaritas antariman, antaretnik dan antarkultur; perdamaian tidak akan
terwujud melalui aksi balas dendam melalui kekerasan; dan hanya melalui
pengampunan, perdamaian umat manusia menjadi mungkin. Sebagai stratregi dari
integrasi sosial maka multikulturalisme mengakui dan menghormati keanekaragaman
budaya. Hal ini membawa implikasi dalam bersikap bahwa realitas sosial yang
sangat polimorfik atau majemuk tak akan menjadi kendala dalam membangun pola
hubungan sosial antarindividu penuh toleransi.
Bahkan
akan tumbuh sikap yang dapat menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara
damai (peace co-existence) satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan
yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya. Sehingga dapat ditegaskan
bahwa multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa masyarakat
dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan, meski di
dalamnya ada kompleksitas perbedaan.Multikulturalisme sesungguhnya merupaskan
proses pengkayaan spiritual dan menjadi penjelmaan iman yang cerdas. Iman bukan
kata benda, tetapi kata kerja; kreativitas dan moralitas, Iman pada hakikatnya
merupakan proses penghayatan dan penjiwaan yang cerdas atas keanekaragaman yang
tergenggam dalam sunnatullah yang perkasa, sebagai penampakan kebesaran Ilahi, sehingga
iman tidak berada dalam ruang yang seragam, statis dan kosong, tetapi berada
dalam keterlibatan yang kreatif dalam dinamika keanekaragaman, perubahan dan
konflik, untuk menerangi jalan menuju ke masa depan kehidupaan bersama yang
lebih damai, sejahtera dan berkeadilan. Oleh karena itu, multiukulturalisme bukanlah
sekedar wacana tetapi realitas dinamik; bukan kata-kata, tetapi tindakan; bukan
simbol kegenitan intelektual, tetapi keberpihakan yang cerdas untuk mencari
solusi yang mencerahkan.24
C.
Islam dan Multikulturalisme
Menurut
bahasa, kata Islam berarti tunduk, patuh dan damai. Jadi, karakteristik dan
watak dasar Islam sebenarnya adalah gagasan konprehensif tentang perlunya
perdamaian dalam hidup dan kehidupan manusia. Islam sebagai agama diturunkan
untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian. Dengan demikian, segala bentuk
terorisme, brutalisme, perusakan dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok muslim radikal yang mengatasnamakan Islam sebenarnya
bertentangan dengan watak dasar dan missi damai Islam itu sendiri. Tidak ada
doktrin dalam Islam juga agama-agama lain yang mengajarkan terorisme,
brutalisme, perusakan, pembakaran atau pun tindak tanduk kekerasan lainnya.[4] Islam sebagai suatu
perangkat ajaran dan nilai, meletakkan konsep dan doktrin yang memberikan rahmat
bagi al-'alamin. Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai
normatif, sarat dengan ajaran yang menghargai dimensi pluralis-multikultural
begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia,
baik sebagai individu maupun sebagai anggota sosial.
Diantara
nilai-nilai Islam yang menghargai dimensi pluralismultikultural adalah:
a. Konsep kesamaan
(as-sawiydti) yang memandang manusia pada dasarnya sama derajatnya.
Satu-satunya pembedaan kualitatif dalam pandangan Islam adalah ketakwaan.
Konsep ini secara sosiologis membongkar pandangan feodalisme, baik feodalisme religius,
feodalisme kapitalis atau pun fiodalisme aristokratis.26 Islam pada esensinya
memandang manusia dan kemanusiaan secara sangat positif dan optimistik. Menurut
Islam, seluruh manusia berasal dari satu asal yang sama, yaitu Nabi Adam dan Hawa.
Meskipun nenek moyangnya sama, namun dalam perkembangannya kemudian terpecah
menjadi bersuku-suku, berkaum-kaum atau berbangsa-bangsa, lengkap dengan segala
kebudayaan dan peradaban khas masing-masing. Semua perbedaan yang ada
selanjutnya mendorong mereka untuk saling mengenal dan menumbuhkan apresiasi
satu sama lain. Mereka harus tetap saling mendekati, saling menghormati dalam
interaksi sosial. (an-Nisa'r 1 dan al-Hujurat: 13). Inilah yang kemudian oleh Islam dijadikan dasar perspektif
"kesatuan umat manusia" (universal humanity), yang pada
gilirannya akan mendorong solidaritas antar manusia.
Pada
waktu melakukan ibadah haji terakhir, Nabi Muhammad Saw membuat pernyataan
dengan etika global: Wahai umat manusia, semua orang berasal dari Adam,
sedang Adam dari ekstrak tanah. Orang Arab tidak lebih mulai dari pada
non-Arab, orang kulit putih tidak lebih mulia daripada orang kulit hitam,
kecuali karena kelebihan ketakwaannya. (HR. Abu Hurairah).
Kemudian
pada suatu saat Nabi Muhammada Saw melihat usungan jenazah, beliau
memerintahkan para sahabatnya untuk berdiri sebagai penghormatan. Diantara
sahabat ada yang memberitahu, bahwa jenazah itu adalah jenazah orang Yahudi.
Nabi bersabda: Tapi dia adalah manusia.2* (HR. At-Turmudzi)
Hal
ini membuktikan bahwa Islam tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap seseorang
berdasarkan ras, agama, etnis, suku ataupun kebangsaannya, hanya ketakwaan
seseoranglah yang membedakannya dihadapan sang pencipta. Konsep keadilan (al-'adalah)
yang membongkar budaya nepotisme dan sikap-sikap korup, baik dalam politik,
ekonomi, hukum, hak dan kewajiban, bahkan dalam praktek-praktek keagamaan. Al-Qur'an
memerintahkan kita berlaku adil terhadap siapapun (an-Nisa':58), jangan sampai
kebencian terhadap suatu pihak itu mendorong untuk tidak berlaku adil
(al-Maidah: 8). Adil hams dilakukan terhadap diri sendiri, keluarga, kelompok dan
juga terhadap lawan.29 Diceritakan bahwa sekelompok bangsawan Arab berusaha memperoleh
perlakuan istimewa terhadap seorang terpidana dari kalangan mereka, mereka
berusaha menggunakan Usamah bin Zaid (cucu angkat Nabi Muhammad Saw) untuk
merayu beliau agar dapat meringankan hukuman si terpidana. Maka beliau bersabda:
Hai Usamah, orang-orang sebelummu dulu menjadi rusak, karena mereka itu
apabila ada yang mencuri dari lingkungan masyarakat yang lemah tidak berdaya,,
mereka tegakkan hukum potong tanga itu. Tapi, kalau yang mencuri dasri
lingkungan masyarakat yang kuat, yangterhormat, mereka membiarkan pencuri bebas
dari hukuman. Demi Tuhan yang menguasai aku, andaikata Fatimah putriku sendiri
itu mencuri, maka saya Muhammad yang akan memotong tangannya.™
Ini
artinya bahwa, Islam mengajarkan untuk menegakkan keadilan kepada siapapun dan
dari golongan manapun.
25. Ruslani, Masyarakat Kitab dan
Dialog Antaragama, Studi atas Pemikiran Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: Bentang, 2000), him. 2
26. Muhammad Tholhah Hasan, Islam
dalam..., him. 280.
27. Ibid., him. 142.
Konsep
kebebasan/kemerdekaan (al-hurriyah) yang memandang semua manusia pada
hakekatnya hanya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan hamba sesama manusia.
Berakar dari konsep ini, maka manusia dalam pandangan Islam mempunyai
kemerdekaan dalam memilih profesi, memilih wilayah hidup, bahkan dalam menentukan
pilihan agama pun tidak dapat dipaksa seperti tercantum dalam QS. Al-Baqarah
ayat 256.31 Banyak perilaku Nabi yang memberikan contoh kepada kita dalam
menerapkan prinsisp-prinsip kebebasan. Diantaranya adalah Ketika terjadi Fathu
Makkah, Nabi dan para pengikutnya tidak melakukan tindakan balas dendam dan
tidak pula memaksa orang-orang kafir Quraisy untuk memeluk agama Islam. Para
kepala suku masyarakat Arab di jazirah Arab berbondongbondong kepada nabi dan
dengan kesadaran sendiri yang mendalam, mereka menyatakan diri memeluk agama
Islam.32 Prinsip-prinsip kebebasan beragama ini pulalah yang telah dipraktekkan
di Madinah oleh Nabi Muhammad Saw ketika beliau meletakkan dasar-dasar
kerukunan hidup antar umat Islam, komunitas Yahudi dan komunitas non-muslim
lewat piagam Madinah yang telah disepakati oleh para wakil dari masing-masing
kelompok. Piagam Madinah sebagaimana dikenal dalam sejarah, merupakan suatu
piagam politik pertama di dunia yang memuat dasar-dasar toleransi dan kebebasan
agama yang dalam ajaran Islam sangat dijunjung tinggi sebagai salah satu hakhak
asasi manusia. Dengan demikian, ide tentang toleransi dan kerukunan hidup antar
umat beragam sebenarnya memiliki akar-akar histories yang sangat kuat dalam
struktur ajaran Islam dan menemukan bukti-bukti yang jelas dan nyata dalam
praktek kehidupan Nabi Muhammad Saw. [5]Begitu pula ketika
yerussalem masuk dalam kekuasaan Islam, Umar Ibn Khatthab memberikan kebebasan
beragama kepada kelompok-kelompk non-muslim dan membiarkan rumahrumah ibadah
(gereja dan sinagog) tetap berfungsi seperti sediakala. Sebagaimana kita lihat
Yerussalem sekarang ini mempunyairumah-rumah ibadah dari berbagai agama (Islam,
Kristen dan Yahudi) yang diwarisi dari sejarah toleransi umat Islam di masa lampau.
Begitu pula ketika Amru Ibn Ash berhasil menaklukkan negeri Mesir, tidak
terjadi pemaksaan oleh umat Islam kepada penduduk setempat untuk memeluk agama
Islam. Keberadaan komunitas Kristen di Mesir dewasa ini yang diperlakukan
dengan baik dan adil oleh pemerintah dan rakyat mesir merupakan bukti nyata
tentang toleransi umat Islam terhadap kelompok minoritas, dan keadaan ini
sebenarnya merupakan kesinambungan dari warisan sejarah toleransi umat Islam di
masa lampau. Konsep toleransi (tasamuh) yang merupakan sikap
membiarkan,mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan.
Bahasa Arab menterjemahkan dengan "tasamuh"', berarti saling
mengizinkan, saling memudahkan.
Dengan
demikian, toleransi dapat diartikan memberikan kemerdekaan kepada golongan
kecil untuk menganut dan menyatakan pandangan-pandangan politik dan agamanya,
memberikan hakhak istimewa seperti yang diperoleh golongan besar.35 Toleransi
berarti membolehkan, membiarkan yang pada prinsipnya tidak perlu terjadi. Jadi
toleransi mengandung konsesi, artinya, pemberian yang hanya didasarkan kepada
kemurahan dan kebaikan hati, bukan didasarkan kepada hak. Jelaslah bahwa toleransi
terjadi dan berlaku karena terdapat perbedaan prinsip, dan dalam menghormati
perbedaan atau prinsip orang lain iru hendaklah tanpa mengorbankan prinsip
sendiri. Maka toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama bukanlah
toleransi dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan perwujudan sikap
keberagamaan pemeluk suatu agama dalam pergaulan hidup antara orang yang tidak
seagama, dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum.36 Suatu
tanda bahwa ada sikap dan suasana toleransi di antara sesama manusia, atau
katakanlah di antara pemeluk agama yang berbeda ialah ketika adanya sikap
mengakui hak setiap orang, menghormati keyakinan orang lain, agree in
disagreement atau setuju dalam perbedaan, saling mengerti dan adanya
kesadaran serta kejujuran.[6] Kita harus mampu mensosialisasikan
semangat ajaran serta
keteladanan Nabi Muhammad Saw.
Toleransi dan moderasi yang beliau
ajarkan harus senantiasa menjadi
acuan dan pedoman dalam interaksi
kita dengan umat agama lain. Islam
sebagai agama rahmatan lil'alamin memiliki perspektif yang konstruktif terhadap perdamaian dan
kerukunan hidup yang merupakan tujuan
dari multikulturaUsme. Dalam Al-Qur'an, manusia digolongkan menjadi tiga golongan;
kaum muslim, ahl al- Kitab, dan golongan di luar Muslim dan ahl al-Kitab, yaitu
golongan watsany (pagan).
Menurut al-Qur'an, semua golongan tersebut mempunyai tempat dan kedudukan tersendiri dalam hubungan sosial dengan umat Islam.38 Jika
ditengok kebelakang, dalam sejarah Islam, pengalaman mengenai pluralisme agama,
setidaknya dalam pengertian aktual pluralitas, telah berkembang sejak permulaan
sejarah. Hal in terekam dalam
al-Qur'an yang menyebut ahl
al-Kitab sebagai suaru kategori orang
lain agama (the religion others). Di Madinah, ketika Nabi Muhammad hijrah bersama para pengikutnya yang merupakan orang-orang Muslim awal,
ditemukan kelompok-kelompok suku Aus dan Khazraj, yang kemudian memeluk
agama Islam, dan komunitas Yahudi
yang terdiri lebih dari dua puluh
satu suku.39 Kedua komunitas agama ini
kemudian dimasukkan kedalam kategori "orang lain agama" yang diakui dan diterima kehadirannya dalam
komunitas muslim. Didalam Tradisi Islam terdapat beberapa qarinah (indikasi) yang menunjukkan pengakuan
terhadap orang lain agama sebagaimana dapat dilihat berikut ini:40
1. Konsep utama dalam Piagam Madinah tidak hanya meliputi orang-orang muslim tetapi juga meliputi orang lain agama. Dalam pasal 25 dari piagam tersebut dinyatakan:
"Bahwa
orang-orang Yahudi Bani 'Auf adalah satu umat bersama orang-orang mukmin; bagi
orang-orang Yahudi itu agama mereka dan bagi orang-orang Mukmin agama mereka.
(Ketentuan ini berlaku bagi) klien-klien dan diri mereka sendiri, kecuali bagi
orang yang berlaku zhalim dan bertindak salah, maka ia tidak lain hanya membawa
keburukan atas dirinya dan keluarganya". Ruslani, Masyarakat
kitab..., him. 8-9.
Kunfirmasi
terhadap kenyataan sejarah Madinah ini dapat dirujuk pada beberapa ayat dalara
al-Qur'an, misalnya firman Allah yang artinya: "Sesungguhnya ini adalah
umatmu, umat yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, maka bertakzualah
kepada-Ku". (23:52)
2. hukum Islam memberikan pengakuan yang tegas terhadap
orang lain agama (dalam hal ini Ahl al-Kitab). Dua aspek hukum Islam yang
sangat erat kaitannyta dengan hubungan Muslim-orang lain ( Muslim-other
relations), yaitu hukum makanan dan perkawinan, menunjukkan sifat inklusif
Islam. Dalam surat Al-Maidah ayat 5 dinyatakan bahwa makanan (sembelihan)
"orang-orang yang di beri kitab" adalah halal bagi Muslim. Ayat yang
sama juga menyatakan bahwa laki-laki Muslim boleh mengawini ahl al- Kitab
tersebut.
3. Fikih sebagai
terjemahan dari nilai-nilai syari'ah juga memberikan pengakuan yang tegas
terhadap kehadiran orang lain agama dalam komunitas Islam.
4. Islam bahkan
mengakui spiritualitas Ahlul Kitab seperti tercermin dalam firman Allah QS. Ali
Imran (3): 113-115 "Mereka tidaklah sama; diantara Ahlul Kitab itu ada
golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah beberapa waktu di
malam hari sembari melakukan sujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah
dan hari Kemudian, memerintahkan yang ma'ruf, mencegah yang mungkar dan
bergegas dalam (mengerjakan) kebajikan; dan mereka itu termasuk orang-orang
yang shaleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka mereka tiada
sekali-sekali dihalangi (menerima pahala)-nya; dan Allah Maha Mengetahui
orang-orang yang bertakwa." 255
Berdasarkan
keterangan diatas dapat dipahami bahwa Islam sebagai agama rahmatan
lil'alamin sudah mengembangkan prinsip-prinsip multikulturalisme jauh
sebelum wacana multikulturalisme
itu muncul. Islam
adalah agama yang sempurna, didalamnya ada aturan-aturan tentang urusan dunia
dan akhirat. Diantaranya adalah terdapat dasar-dasar peraturan untuk hidup
berdampingan secara damai dengan siapa pun. Dasar-dasar membina masyarakat
damai secara umum, yakni termasuk kepada golongan selain Islam memang ada dalam
al-Qur'an dan Hadits Nabi Muhammad Saw.
Di antaranya
adalah:
- "Bukan
orang mu'min, orang yangsuka mencela, suka melaknat, perbuatannya keji dan
rendah budinya". (H.R. Turmitdzy).
- "Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah satu golongan menganggap rendah kepada golongan yang
lain, sebab barangkali merekalah justru yang lebih baik, dan perempuan jangan
menganggap rendah kepada perempuan yang lain pula, sebab barangkali merekalah
yang lebih baik, dan janganlah kamu mencela diri-diri kamu serta janganlah kamu
memanggil kawanmu dengan gelar yang tidak baik, karena seburuk-buruk nama ialah
berbuatfasik sesudah beriman. Barang siapa yang tidak mau bertaubat, maka
mereka itulah sebenarnya yang berlaku aniaya".
- Allah berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman jauhilah daripada banyak prasangka, karena
sebagian prasangka itu adalah dosa, dan jangan pula kamu suka menyelidiki
keadaan kawan kamu serta janganlah sebagian kamu mengumpat pada sebagiannya, apakah
kamu suka makan daging kawanmu dalam keadaan ia tidak berdaya, padahal kau
sebenarnya tidak menyukainya? Takutlah kepada Allah karena sesungguhnya Allah
adalah Dzat yang Maha menerima taubat dan berkasih saying".
Dengan
demikian, seseorang tidak boleh mencela, mencaci, mengumpat menganggap rendah,
berprasangka buruk, benci membenti, menghasut, berkata yang menyakitkan orang
lain, tidak memandang apakah orang itu Muslim atau bukan Muslim. Semuanya itu
adalah untuk menjaga agar persaudaraan dan suasana aman damai tetap berjalan.
Maka semua anggota masyarakat hendaknya menghindari hal-hal yang menjurus
kepada panasnya suasana masyarakat.
D.
Pendidikan Islam Sebagai Upaya Membangun
Multikulturalisme
If a child lives
with criticism, he learns to condemn
If a child lives
with hostility, he learns to fight
If a child lives
with ridicule, he learns to be shy
If a child lives
with shame, he learns to feel guilty
If a child lives
with tolerance, he learns to be patience
If a child lives
with encouragement, he learns to be confident
If a child lives
with praise, he learns to appreciate
If a child lives
with fairness, he learns justice
If a child lives
with security, he learns to have faith
If a child lives
with approval, he learns to like himself
If a child lives
with acceptance and friendship, he learns to find love in the world.42
***Dorothy Law
Notle***
35. Zul Asyri LA, Toleransi
Islam Terhadap Agama Lain, Dalam
Al-Fikra Jurnal Ilmiah Keislaman Vol
I, No.l, (Yogyakarta: IAIN
Suka Press, 2002), him. 22.
36. Ibid., him. 13.
Keragaman
adalah anugerah Ilahi yang harus dirangkai menjadi simfoni keindahan yang
harmonis. Mustahil kita hidup dalam satu kesatuan yang seragam. Anak didik
harus dibuka mata dan wawasannya untuk melihat sekian perbedaan yang ada disekitarnya,
dimana masyarakat Indonesia merupakan masyarakat ynag heterogen dan plural.
Paling tidak heterogenitas dan pluralitas masyarakat itu bisa dilihat dari
eksistensi keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaan), dan budaya
(kultur). Inilah realitas bangsa yang multi-kultural dan multi religius.
Kekayaan ini harus dijaga menjadi keragaman dibawah semangat kebersamaan, bukan
penyatuan.[7]
Untuk
mencapai hal tersebut dibutuhkan instrumen pendidikan yang mampu mengarahkan
kemajemukan ini. Pendidikan Islam adalah salah satu jawaban, karena ia
merupakan ranah yang strategis untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat.
Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun kesadaran
multikulkturalisme serta sebagai salah satu media penting yang dapat membentuk
bagaimana corak pandangan hidup seseorang atau masyarakat, apakah pandangan hidup
rnereka hanya untuk kepentingan hidup di dunia ini saja atau di akhirat saja
atau untuk keduanya. Selain itu lembaga pendidikan dapat membentuk manusia yang
cerdas, bermoral, memiliki semangat hidup dan memiliki semangat mengembangkan
ilmu dan tekhnologi guna membangun bangsanya. Spektrum kultur masyarakat
Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna
mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Saat
ini, dunia pendidikan, dalam hal ini pendidikan Islam yang merupakan bagian
dari pendidikan nasional mempunyai dua tangggung jawab besar, yaitu menyiapkan
bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan
menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya.44 Konsep
pendidikan Islam saat ini harus mampu mengembangkan nilai-nilai
multikulturalisme yang memang sudah terkandung dalam ajaran Islam. Ada beberapa
aspek yang perlu bagaimana seorang anak belajar dari kehidupannya. Tentu anak
disini bukan hanya berarti anak dalam pengertian sempit, namun lebih bermakna
individu pembelajar (learner). Hal ini menjadi penting karena sikap dan
karakter seseorang merupakan akumulasi dari pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil
dari proses belajar.[8] diperhatikan dalam meng
implementasikan pendidikan Islam.
Pertama, Pendidikan Islam
adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Dengan
demikian, diharapkan akan tumbuh kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman
yang ada.
Kedua, Pendidikan Islam
merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan
kesadaran anak didik terhadap realitas yang pluralis-multikultural. Hal ini
penting dilakukan, karena tanpa adanya usaha secara sistematis, realitas keragaman
akan dipahami secara sporadis, fragmentaris atau bahkan memunculkan
eksklusivitas yang ekstrem.
Ketiga, pendidikan Islam
tidak memaksa atau menolak anak didik karena persoalan identitas suku, agama,
ras atau golongan. Mereka yang berasal dari beragam perbedaan harus diposisikan
secara setara, egaliter dan diberikan medium yang tepat untuk mengapresiasi
karakteristik yang mereka miliki. Masing-masing anak memiliki posisi yang sama
dan harus memperoleh perlakuan yang sama.
Keempat, pendidikan Islam memberikan
kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya sense of self kepada setiap
anak didik. Ini penting untuk membangun kepercayaan diri, terutama bagi anak
didik yang berasal dari kalangan ekonomi kurang beruntung, atau kelompok yang
relatif terisolasi.
Pendidikan
Agama memang masih banyak menuai kritik. Salah satu faktor penyebab kegagalan
pendidikan agama adalah karena praktik pendidikannya lebih banyak memperhatikan
aspek kognitif dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan kurang pembinaan
aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk
mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Atau dalam praktiknya, pendidikan agama
berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk
pribadi-pribadi Islami. Pendidikan agama lebih mengutamakan pengajaran agama
daripada pendidikan moral. Padahal intisari pendidikan agama justru terletak pada
pendidikan moral tersebut. Selain itu, ada juga beberapa kelemahan lainnya,
baik dalam pemahaman materi pendidikan maupun dalam pelaksanaannya, yaitu: 1)
dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada paham fatalistik; 2)
bidang akhlak yang hanya berorientasi pada urusan sopan santun dan belum
dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama; 3) bidang ibadah
diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan
kepribadian; 4) dalam bidang hukum (fiqh) cenderung dipelajari sebagai tata aturan
yan tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa
hukum Islam; 5) agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang
mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan; 6)
orientasi mempelajari al-Qur'an masih cenderung pada kemampuan membeca teks,
belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna. Siti Malikah Towaf
juga mengamati adanya kelemaham-kelemahan pendidikan agama Islam di sekolah,
antara lain: 1) pendekatan masih cenderung normatif, dalam arti pendidikan
agama menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya,
sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai hidup
dalam keseharian; 2) Para guru kurang berupaya menggali berbagai metode yang
mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama sehingga pelaksanaan pembelajaran
cenderung monoton; 3) keterbatasan sarana prasarana yang mengakibatkan pengelolaan
cenderung seadanya. Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek penting
seringkali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas; 4) pendidikan agama
lebih menitik beratkan pada aspek korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan
hafalan teksteks keagamaan yang sudah ada; 5) dalam sistem evaluasi, bentuk soal-soal
ujian agama Islam menunjukkan prioritas utama pada kognitif dan jaranng
pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan 'nilai' dan 'makna' spiritual
keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.48
Orientasi
semacam ini menyebabkan terjadinya keterpisahan dan kesenjangan antara ajaran
agama dan realitas perilaku pemeluknya. Oleh karena itu diperlukan reorientasi
dalam pembelajaran agama Islam. Menurut Mastuhu, jika pendidikan Islam ingin
kontekstual dengan perkembangan zaman, paradigma pendidikan yang selama ini
dikembangkan harus diubah. perubahan paradigma yang dimaksud adalah mengubah
cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah, dari
hafalan ke dialog, dari pasif ke heuristic, dari
43. Jalaluddin Rakhmat, Psikologi
Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarva, 1996), him. 102,
44. Faisal Ismail, Islam Idealitas..., hal.
193.
45. Choirul Mahfud, Pendidikan..., him.
208.
46. Ngainun Nairn dan Ahmad Syauqi, Pendidikan Mitltikultural..., him. 53-54.
47. Ibid., 184.
strategi
menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi, dari mekanis
ke kreatif, dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan
menjadi memandang dan menerima ilmu dalam dimensi proses, dan fungsi pendidikan
bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, namun mengolah dan mengembangkan
hati (moral) dan keterampilan.[9] Selain itu, paradigma
pendidikan yang ditawarkan oleh UNESCO untuk menghadapi masyarakat modern yang
semakin kompleks dan plural agaknya perlu dicermati oleh para pelaku dan pemerhati
pendidikan Islam. Paradigma yang ditawarkan tersebut adalah bahwa proses
pendidikan bukan hanya mengarahkan dan membimbing peserta didik untuk learning
to think (berfikir), learning to do (berbuat), dan learning to be
(menjadi) saja, namun proses pendidikan juga hendaknya dapat membentuk
peserta didik untuk learning to live together (hidup bersama) dengan
orang lain.51 Tiga paradigma pertama cenderung mengoptimalkan peserta didik sebagai individu, baik yang
menyangkut ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Sedangkan paradigma
yang keempat adalah upaya mengoptimalkan potensi sosial. Bahwa manusia tidak
hidup sendirian, disekitarnya banyak orang yang mempunyai kedudukan yang sama
di dunia meskipun berbeda jenis kelamin, agama, warna kulit maupun etnis.
Inilah sebenarnya yang menjadi tantangan paling serius bagi pendidikan Islam
pada era globalisasi. Karenanya, pendidikan Islam dalam pelaksanaannya paling tidak
metodologi pengajaran, silabi dan kurikulumnya harus memenuhi tiga hal berikut
ini, yairu:
1.
Membongkar kurikulum yang eksklusif doktriner dengan kurikulum yang pluralis
yang mampu membebaskan peserta didik keluar dari pandangan eksklusif. Melihat
fakta sosial yang berisikan banyak konflik bernuansa SARA, maka pendidikan agama
harus direvisi dari konsep indoktrinasi menjadi relevansi. Artinya pendidikan
agama harus dikembangkan bukan hanya indoktrinasi berupa ajaran surga-neraka,
baik-buruk, halalharam, mukmin-kafir tetapi juga relevansinya yakni berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari sehingga akan bisa dihayati dan diamalkan. Pendidikan
agama harus mengajarkan pengetahuan menjadi pengetahuan yang fungsional,
artinya pengetahuan yang membantu orang untuk menanggapi, menilai dan menemukan
sikap dalam hidup. Oleh karena itu pengajaran agama sebaiknya bertitik tolak
dari dan dikaitkan kepada situasi hidup kongkret sehari-hari, seperti bagaimana berfikir dan
bertindak baik untuk diri sendiri maupun orang lain, berhubungan dengan orang
lain, bermasyarakat, toleransi, hidup dalam masyarakat plural dan sejenisnya.
2.
Porsi moralitas dan etika universal harus diberikan secara lebih proporsional
dengan pengajaran ritualitas-formalis. Sebab, dititik inilah setiap agama dapat
bertemu dalam saru tujuan. Karena mustahil agama mengajak penganutnya untuk
berbuat jelek terhadap orang lain. Harapannya sejak dini peserta didik telah diperkenalkan
untuk bekerjasama dan beraksi sosial tanpa kenal batas agama. Kalau selama ini
pendidikan agama lebih menekankan pada aspek keshalihan vertikal (aspek
ritual), maka harus diperbaharui dengan menekankan baik aspek keshalihan
vertikal maupun horizontal. Dengan arah pendidikan seperti itu diharapkan anak
didik disamping tetap akan memiliki keimanan yang benar sesuai dengan agamanya,
juga memiliki sikap toleransi yang tinggi seperti yang dituntut oleh kondisi masyarakat
yang plural.
3.
Peserta didik perlu diberi wawasan yang cukup mengenai agamaagama lain, karna
ketidakmengertian terhadap hal tersebut sering kali menimbulkan asumsi miring
bahkan negatif terhadap agama lain. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang
plural ini, tentu saja sikap hidup yang inklusif sangat diperlukan dalam hidup
bersama. Sementara sikap eksklusif harus dijauhi karena akan menimbulkan
prasangka, permusuhan dan disintegrasi. Jadi pemahaman keagamaan termasuk
pendidikan agama, harus ditekankan pada sikap inklusivitas. Artinya kita boleh
berbeda pemahaman dan keyakinan agama, namun tetap bisa hidup rukun dan damai.
Sikap yang serba kaku dan mudah menyalahkan orang lain akan mengganggu
keharmonisan hidup sama baik dalam
bermasyarakt, berbangsa dan bernegara. Berkaitan dengan tantangan modernitas
yang ian kompleks, terutama dengan
pluralitas dan multikulturalitas, selain langkahlangkah tersebut, erlu juga melakukan beberapa hal yang lain.[10]Pertama, selain
memberi uraian tentang ilmu-ilmu keislaman klasik, anak didik perlu juga
diperkenalkan dengan persoalan-persoalan modernitas yang arnat kompleks
sebagaiman yang dihadapi umat Islam sekarang ini dalam hidup keseharian mereka.
Kedua, pengajaraan ilmu-ilmu keislaman tidak seharusnya selalu doktrinal, melainkan perlu dikedepankan uraian
dimensi histories dari doktrin-doktrin keagamaan tersebut. Hal ini dimaksudkan
agar dapat melatih para peserta didik untuk merumuskan ulang pokokpokok rumusan
realisasi agama yang sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman serta bagaimana
mereka dapat mencari jalan keluar (problem solving) sesuai dengan
nilai-nilai keagaamaan Islam yang meraka yakini. Ketiga, pengajaran yang dulunya
hanya bertumpu pada teks (nash) perlu diimbangi dengan telaah yang cukup
mendalam dan cerdas terhadap konteks dan realitas, mengingat bahwa nash itu terbatas,
sedangkan kejadian-kejadian yang dialami manusia selalu berkembang. Keempat,
Penekanan pada aspek kognitif anak hams diimbangai dengan aspek afektif dan
psikomotorik. Penghayatan dan internalisasi budi pekerti dan akhlak batiniah
yang bernuansa penghayatan tasawuf merupakan sebuah metode pendidikan dan pengajaran
yang lebih menekankan pada kematangan dan kedewasaan berpikir dan berprilaku,
seperti penanaman sifat rendah hati, kesabaran, toleransi, tenggang rasa,
kepuasan batiniah, cara berfikir yang matang dan seterusnya.
Kelima, Pendidikan agama
Islam era modernitas tidak lagi memadai jika hanya terfokus pada pembentukan "moralitas
individual" yang saleh, namun kurang begitu peka terhadap , "moralitas
public". Karena moralitas publik sangat terkait dengan realitas
struktur sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial budaya yang mempunyai
logika kepentingan sendiri-sendiri. Pendidikan Islam
perlu memasuki
diskursus moralitas publik, lantaran sumber kejahatan moral tidak lagi hanya
dari individu-individu, melainkan telah bergeser ke struktur jaringan yang
sangat kompleks. Dr. Simuh seperti yang dikutip Syamsul Arifin menyatakan pentingnya
pendekatan etis-filosofis dan pendekatan Afektif- Partisipatoris dalam
pendidikan Againa. Pendekatan etis dibutuhkan untuk memahami nilai-nilai sakral
(transendental) dari diktumdiktum Ilahiyah. Sedangkan pendekatan
filosofis diorientasikan pada pengembangan daya kritis dan nalar dalam memahami
ajaran agama untuk membaca persoalan-persoalan yang tengah terjadi di masyarakat,54
Pendekatan afektif dibutuhkan untuk menanamkan nilai agama kepada anak sebagai
kerangka spiritual dan pedoman moral untuk menatap masa depannya. Sedangkan
dengan pendekatan partisipatoris ini peserta didik diajak untuk mendiskusikan persoalan-persoalan
kehidupan riil yang terjadi di masyarakat yang
sebenarnya memerlukan pemikiran dan telaah kritis sehingga agama benar-benar
berfungsi dan masuk dalam perilaku kehidupannya.
Pendidikan
agama Islam harus bersifat autentik, selain menyajikan bahan-bahan pengetahuan,
juga mengusahakan pengalaman dan penghayatan nilai-nilai didalam situasi dan
lingkungan hidup seharihari. Dengan kata lain pendidikan agama hendaknya tidak
hanya mementingkan atau menekankan pada ranah kognitif saja dan mengedepankan
pendekatan indoktrinisasi yang akhirnya akan melahirkan sikap sikap dogmatis
yang ekstrim bukan pendekatan parsipatoris.
Dari
segi metode pengajaran, hendaknya hubungan guru dan murid bersifat
dialogis-komunikatif. Guru tidak dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar,
murid bukan sebagai obyek pengajaran. Namun guru dan murid sama-sama sebagai
subyek belajar sehingga suasana belajar di kelas akan dinamis dan hidup. Dalam
hal ini pendidikan bisa dimaknai sebagai pemberdayaan manusia agar mandiri dan
kreatif. Reorientasi pelaksanaan pendidikan Islam diharapkan dapat menghasilkan
out put yang memiliki kesalehan individual juga kesalehan social sebagai
modal utama dalam menghadapi kehidupan yang sangat kompleks dengan kondisi
masyarakat yang multicultural dan multireligius. Terbentuknya anak didik yang memiliki
cakrawala pandang luas, menghargai perbedaan, penuh toleransi, memiliki sikap
simpatik, respek, apresiasi dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang
berbeda serta jauh dari sikap stereotip, egoistic, individualistic dan
eksklusif akan menciptakan suasana masyarakat yang bermoral, toleran, damai dan
harmoni.
56. Mudjia Rahardjo, Quo Vadis Pendidikan
Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2006),hal. 59.
Kesimpulan
Indonesia
memiliki masyarakat multikultural yang menyimpan kemajemukan dan keberagaman
dalam hal suku bangsa, adat istiadat, kebudayaan, bahasa, agama, cara hidup dan
pandangan nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok etnis yang ada dalam
masyarakat tersebut. Pluralitas adalah kehendak Sang Pencipta (sunnatullah) agar
kehidupan ini dapat berjalan dalam keseimbangan.
Adanya pluralitas dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan
masyarakat itu dinamis, penuh warna, tidak membosankan, dan membuat antara yang
satu dengan lainnya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Tetapi ketika pluralitas
ini tidak mampu dikelola dengan baik, maka ia akan menjadi sumber konflik yang
pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya stabilitas dan ketidakharmonisan. Agar
keragaman dan perbedaan yang ada dapat dikelola menjadi aset yang akan
melahirkan simfoni kehidupan yang harmonis, bukan sebagai sumber perpecahan,
maka dibutuhkan instrumen yang tepat untuk dapat mengarahkan kemajemukan yang
ada. Pendidikan Islam merupakan wahana yang tepat untuk membangun kesadaran
multikulkturalisme serta sebagai salah satu media penting yang dapat membentuk
bagaimana corak pandangan hidup seseorang atau masyarakat. Islam sebagai rahmatan
lil'alamin memuat nilai-nilai normatif yang sarat dengan ajaran yang
menghargai dimensi pluralis-multikultural. Islam sebagai ajaran, begitu
bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik
sebagai individu maupun sebagai anggota sosial. Hal ini terbukti dengan konsep-konsep
Islam tentang as-sawiyah atau kesamaan, al-'adalah atau keadilan,
al hurriyah atau kebebasan juga tasamuh atau toleransi yang
merupakan modal dasar dari teologi multikulturalisme.
SARAN
Dengan pemaparan makalah ini semoga bermanfaat bagi saya khususnya dan
juga kita semua sebagai generasi penerus bangsa harus dapat menumbuhkan
nilai-nilai multikulturalisme dari jati diri kita sendiri.
Nilai-nilai
yang akan membentuk kesadaran multikulturalisme tersebut tidak akan terbentuk
dengan sendirinya dalam pribadi pribadi individu, akan tetapi nilai-nilai
tersebut harus ditanamkan sejak dini melalui proses pendidikan. Pendidikan
Islam yang merupakan bagian dari pendidikan nasional selama ini masih banyak
menuai kritik, untuk itu pendidikan Islam harus merubah paradigma pendidikannya
agar mampu membentuk generasi-generasi yang bukan saja memiliki keshalehan
individual tetapi juga harus memiliki keshalehan sosial. Terbentuknya anak
didik yang memiliki cakrawala pandang luas, menghargai perbedaan, penuh
toleransi, memiliki sikap simpatik, respek, apresiasi dan empati terhadap
penganut agama dan budaya yang berbeda serta jauh dari sikap stereotip,
egoistic, individualistic dan eksklusif akan menciptakan suasana masyarakat
yang bermoral, toleran, damai dan harmoni. Pada saat inilah pendidikan Islam
memberikan kontribusinya kepada stabilitas nasional.
[1] Alwi Syihab, Islam
Inklusif, (Bandung: Mizan 1Q9S), him. 40.
2.Musa Asy’arie, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual,(Yogyakarta:
Lesfi,2002, hal.10)
3.Afif Nadjih Anies,Islam dalam Perspektif SosioKultural,(Jakarta:Lantabora
Press,2005),hal.277
4.Sudarto, H., Konflik Islam Kristen : Menguak Akar Masalah
Hubungan Antar Umat Beragama di
Indonesia,(Semarang:Pustaka Rizqi Putra, 1999), hal. 2-4.
5.M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural; Cross-Cultural
Understanding untuk Demokrasi(Yogyakarta:
Filar Media, 2005), him. 4.
[2] 6.Sembodo Ardi Widodo, Kajian
FHosofis Pendidikan Barat dan Islam, (Jakarta: Nimas Multima, 2003), hlm.170.
7. Ibid, hal. 171
8. Ibid, hal. 171
9. Abdullah Idi dan Toto
Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Tiara Wacana,
2006), hal. 47.
10. Ibid, hal. 47
11.
op cit, hal. 173
[3] 12. H.M. Arifin, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003), him. 29. 13. Ibid, hal.
50.
13. Ibid. Hal. 50
14. Choirul Mahfiid, Pendidikan
Multikultuml, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), him. 75.
[4]19. Zubaedi, Pendidikan Berbasis...., hlm. 65
20. Zakiyuddin
Baidhawy,( Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural, Erlangga, Jakarta,2008), hlm. 44
21.Zubaedi, Pendidikan Berbasis... hlm. 63
22. Choirul Mahfud, Pendidikan.... hlm... 107-108
23. Faisal
Ismail, Islam Idealitas Hahiyah dan Realitas Insaniyah, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999), him. 200.
24. Muhammad
Tholhah Hasan, Islam dalam Pcrspektif Sosio Kultural, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), him. 142.
[5] 28. Ibid., him. 282.
29. Ibid., him. 145.
30. Faisal
Ismail, Islam Idealitas..., him. 201.
31. Ibid;, him. 202.
32. Ibid.,
him.
202.
33. Zul Asyri
LA, Toleransi Islam Terhadap Agama Lain, Dalam Al-Fikra Jurnal Ilmiah
37. Umar Hasyim, Toleransi dan kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju
Dialog dan Kerukunan antar agama,
( surabaya : FT. Bina Ilmu, 1991),hlm. 23-25
38. M.Jandra, Pluralisme Agama Dan Multikulturalisme,
Usaha Mencarai Perekat Sosial,” dalam Reinvensi Islam Multikulturalisme,( Surakarta : Pusat Studi Budaya dan Perubahan
Sosial, 2005 ),hlm. 253
40. Ibid., hlm. 254-255
41. Islam, vol. 3 no.2,
Juli 2008.
[9]48.
Ibid., him. 184-185.
49. Ibid., him. 185.
50. Abuddin Nata, Peia
Keragaman Pemikiran Islam di Indonesian, (Jakarta: FT. Raja Grafindo
Persada, 2001), him. 213.
51. Mastuhu, Memberdayakan
Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), him. 49.
52 Sukiman, "Arah Pengembangan Pendidikan
Agama Islam pada Era Pluralisme"
dalam Jurnal Pendidikan agama Istnui, Vol I, No.2, 2004, hal. 132.
53. M.
Amin Abdullah dkk, Tafsir baru Studi Islam Dalam Era Multi Kultural, Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta, 2003, him.
361.
54. op cit, hal. 132
[10] 55. bersifatM. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era
Multikuitural-Multireligius, (Jakarta:
PSAP, 2005), him. 78-81.
terimakasih atas informasinya..
BalasHapusiya sama2 mbk
BalasHapusPENDAFTARAN BELA NEGARA
BalasHapusKHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU
Untuk Wali Wali Allah dimana saja kalian berada
Sekarang keluarlah, Hunuslah Pedang dan Asahlah Tajam-Tajam
Api Jihad Fisabilillah Akhir Zaman telah kami kobarkan
Panji-Panji Perang Nabimu sudah kami kibarkan
Arasy KeagunganMu sudah bergetar Hebat Ya Allah,
Wahai Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang
hamba memohon kepadaMu keluarkan para Muqarrabin bersama kami
Allahumma a’izzal islam wal muslim wa adzillas syirka wal musyrikin wa dammir a’da aka a’da addin wa iradaka suui ‘alaihim yaa Robbal ‘alamin.
Wahai ALLAH muliakanlah islam dan Kaum Muslimin, hinakan dan rendahkanlah kesyirikan dan pelaku kemusyrikan dan hancurkanlah musuh-mu dan musuh agama-mu dengan keburukan wahai RABB
semesta alam.
Allahumma ‘adzdzibil kafarotalladzina yashudduna ‘ansabilika, wa yukadzdzibuna min rusulika wa yuqotiluna min awliyaika.
Wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. wahai ALLAH berilah adzab…. orang-oramg kafir yang telah menghalang-halangi kami dari jalan-Mu, yang telah mendustakan-Mu dan telah membunuh Para Wali-Mu, Para Kekasih-Mu
Allahumma farriq jam’ahum wa syattit syamlahum wa zilzal aqdamahum wa bilkhusus min yahuud wa syarikatihim innaka ‘ala kulli syaiin qodir.
Wahai ALLAH pecah belahlah, hancur leburkanlah kelompok mereka, porak porandakanlah mereka dan goncangkanlah kedudukan mereka, goncangkanlah hati hati mereka terlebih khusus dari orang-orang yahudi dan sekutu-sekutu mereka. sesungguhnya ENGKAU Maha Berkuasa.
Allahumma shuril islam wal ikhwana wal mujahidina fii kulli makan yaa rabbal ‘alamin.
Wahai ALLAH tolonglah Islam dan saudara kami dan Para Mujahid dimana saja mereka berada wahai RABB Semesta Alam.
Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin
Wahai Wali-wali Allah Kemarilah, Datanglah dan Berkujunglah dan bergabunglah bersama kami kami Ahlul Baitmu
Al Qur`an adalah manhaj (petunjuk jalan) bagi para Da`i yang menempuh jalan dien ini sampai hari kiamat, Kami akan bawa anda untuk mengikuti jejak langkah penghulu para rasul Muhammad SAW dan pemimpin semua umat manusia.
Hai kaumku ikutilah aku, aku akan menunjukan kepadamu jalan yang benar (QS. Al-Mu'min :38)
Wahai para Ikwan Akhir Zaman, Khilafah Islam sedang membutuhkan
para Mujahid Tangguh untuk persiapan tempur menjelang Tegaknya Khilafah yang dijanjikan.
Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)
Masukan Kode yang sesuai dengan Bakat Karunia Allah yang Antum miliki.
301. Pasukan Bendera Hitam
Batalion Pembunuh Thogut / Tokoh-tokoh Politik Musuh Islam
302. Pasukan Bendera Hitam Batalion Serbu
- ahli segala macam pertempuran
- ahli Membunuh secara cepat
- ahli Bela diri jarak dekat
- Ahli Perang Geriliya Kota dan Pegunungan
303. Pasukan Bendera Hitam Batalion Misi Pasukan Rahasia
- Ahli Pelakukan pengintaian Jarak Dekat / Jauh
- Ahli Pembuat BOM / Racun
- Ahli Sandera
- Ahli Sabotase
304. Pasukan Bendera Hitam
Batalion Elit Garda Tentara Khilafah Islam
305. Pasukan Bendera Hitam Batalion Pasukan Rahasia Cyber Death
- ahli linux kernel, bahasa C, Javascript
- Ahli Gelombang Mikro / Spektrum
- Ahli enkripsi cryptographi
- Ahli Satelit / Nuklir
- Ahli Pembuat infra merah / Radar
- Ahli Membuat Virus Death
- Ahli infiltrasi Sistem Pakar
Semua Negara adalah Negara Dajjal, sebab itu
Bunuhlah Tentara , Polisi dan semua pendukung negara dajjal dimana saja berada
Disebarluaskan
MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU
Syuaib Bin Shaleh
singahitam@hmamail.com
PESAN IMAM MAHDI MENYERU UNTUK PARA IKHWAN
BalasHapusBENTUKLAH PASUKAN MILITER PADA SETIAP ZONA ISLAM
SAMBUTLAH UNDANGAN PASUKAN KOMANDO BENDERA HITAM
Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu
Untuk para Rijalus Shaleh dimana saja kalian berada,
bukankah waktu subuh sudah dekat? keluarlah dan hunuslah senjata kalian.
Dengan memohon Ijin Mu Ya Allah Engkaulah Pemilik Asmaul Husna, Ya Dzulzalalil Matien kami memohon dengan namaMu yang Agung
Pemilik Tentara langit dan Bumi perkenankanlah kami menggunakan seluruh Anasir Alam untuk kami gunakan sebagai Tentara Islam untuk Menghancurkan seluruh Kekuatan kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan yang sudah merajalela di muka bumi ini hingga Dien Islam saja yang berdaulat , tegak perkasa dan hanya engkau saja Ya Allah yang berhak disembah !
Firman Allah: at-Taubah 38, 39
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu jika dikatakan orang kepadamu: “Berperanglah kamu pada jalan Allah”, lalu kamu berlambat-lambat (duduk) ditanah? Adakah kamu suka dengan kehidupan didunia ini daripada akhirat? Maka tak adalah kesukaan hidup di dunia, diperbandingkan dengan akhirat, melainkan sedikit
sekali. Jika kamu tiada mahu berperang, nescaya Allah menyiksamu dengan azab yang pedih dan Dia akan menukar kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tiada melarat kepada Allah sedikit pun. Allah Maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Berjihad itu adalah satu perintah Allah yang Maha Tinggi, sedangkan mengabaikan Jihad itu adalah satu pengingkaran dan kedurhakaan yang besar terhadap Allah!
Firman Allah: al-Anfal 39
Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi, dan jadilah agama untuk Allah.
Peraturan dan undang-undang ciptaan manusia itu adalah kekufuran, dan setiap kekufuran itu disifatkan Allah sebagai penindasan, kezaliman, ancaman, kejahatan dan kerusakan kepada manusia di bumi.
Ketahuilah !, Semua Negara Didunia ini adalah Negara Boneka Dajjal
Allah Memerintahkan Kami untuk menghancurkan dan memerangi Pemerintahan dan kedaulatan Sekular-Nasionalis-Demokratik-Kapitalis yang mengabdikan manusia kepada sesama manusia karena itu adalah FITNAH
Firman Allah: al-Hajj 39, 40
Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, disebabkan mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka itu. Iaitu
orang-orang yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mengatakan: Tuhan kami ialah Allah
Firman Allah: an-Nisa 75
Mengapakah kamu tidak berperang di jalan Allah untuk (membantu) orang-orang tertindas. yang terdiri daripada lelaki, perempuan-perempuan dan kanak-kanak .
Dan penindasan itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan(al-Baqarah 217)
Firman Allah: at-Taubah 36, 73
Perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagai mana mereka memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahawa Allah bersama orang-orang yang taqwa. Wahai Nabi! Berperanglah terhadap orang-orang kafir dan munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.
Firman Allah: at-Taubah 29,
Perangilah orang-orang yang tidak beriman, mereka tiada mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tiada pula beragama dengan agama yang benar, (iaitu) diantara ahli-ahli kitab, kecuali jika mereka membayar jizyah dengan tangannya sendiri sedang mereka orang yang tunduk..
Bentuklah secara rahasia Pasukan Jihad Perang setiap Regu minimal dengan 3 Anggota maksimal 12 anggota per desa / kampung.
Bersiaplah menjadi Tentara Islam akhir Zaman sebelum anda dibantai oleh Zionis,Salibis,Munafiq dan Musyrikin
Siapkan Pimpinan intelijen Pasukan Komando Panji Hitam secara matang terencana, lakukan analisis lingkungan terpadu.
Apabila sudah terbentuk kemudian Daftarkan Regu Mujahid
ke Markas Besar Angkatan Perang Pasukan Komando Bendera Hitam
Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu
Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari Nasionalisme (kemusyrikan)
email : seleksidim@yandex.com
Dipublikasikan
Markas Besar Angkatan Perang
Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu