PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits
sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya
mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan
tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja ini, Rasulullah SAW
bersabda:
اعمل للدنيا كأنك تعيش ابدا
واعمل للأخرة كأنك تموت غادا
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu
hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.”
Dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas
lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada
mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat
bekerja.” Nyatanya kita
kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan
ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut
untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi
senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh
melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas maka pemakalah merumskan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini
antara lain sebagai berikut :
- Apa Redaksi Hadist mengenai Etos Kerja Seorang Muslim?
- Bagaimana Penjelasan Mengenai Hadist Etos Kerja?
- Bagaimana Aspek – aspek pekerjaan dalam Islam?
- Apa Pekerjaan yang terbaik?
- Larangan Meminta-minta?
BAB
2
PEMBAHASAN
A. Redaksi Hadis
حد يث أ بي هريرة رضي ا الله عنه قل: قل رسول ا لله صلى ا لله
عليه وسلم: لأن يحتطب احدكم حز مة على ظهره خير من أن يسأل احدا فيعطيه او يمنعه
Abu
hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jika seseorang itu pergi
mencari kayu, lalu di angkat seikat kayu di atas punggungnya (yakni untuk di
jual di pasar) maka itu lebih baik baginya daripada minta kepada seseorang baik
di beri atau di tolak” (H.R Bukhari dan Muslim).
B.
Penjelasan Hadis tentang Etos Kerja
Etos
kerja ialah suatu sikap jiwa seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan
dengan perhatian yang penuh. Maka pekerjaaan itu akan terlaksana dengan
sempurna walaupun banyak kendala yang harus diatasi, baik karena motivasi
kebutuhan atau karena tanggung jawab yang tinggi.
Ethos
berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter
serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu,
tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai
kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya. [2]
Dari
kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian
akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam
etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan
sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas
kerja yang sesempurna mungkin.
Etos
kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal
mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para
hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud
ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada
nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan
adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah)
kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)
Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi
empat hal yaitu :
1.
Memenuhi kebutuhan sendiri
Islam sangat menekankan kemandirian bagi pengikutnya.
Seorang muslim harus mampu hidup dari hasil keringatnya sendiri, tidak
bergantung pada orang lain. Hal ini diantaranya tercermin dalah hadist
berikut :
عن
أبي عبد الله الزبير بن العوام رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: لأن يأخذ أحدكم أحبله ثم يأتي الجبل، فيأتي بحزمةٍ من حطبٍ على ظهره
فيبيعها، فيكف الله بها وجهه، خيرٌ له من أن يسأل الناس،أعطوه أو منعوه. رواه البخاري.
Dari
Abu Abdillah yaitu az-Zubair bin al-Awwam r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w.
bersabda: “Niscayalah jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil
tali-talinya – untuk mengikat – lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang
kembali – di negerinya – dengan membawa sebongkokan kayu bakar di atas
punggungnya, lalu menjualnya,kemudian dengan cara sedemikian itu Allah menahan
wajahnya – yakni dicukupi kebutuhannya, maka hal yang semacam itu adalah lebih
baik baginya daripada meminta-minta sesuatu pada orang-orang, baik mereka itu
suka memberinya atau menolaknya.” (Riwayat Bukhari)
Rasullullah
memberikan contoh kemandirian yang luar biasa, sebagai pemimpin nabi dan
pimpinan umat Islam beliau tak segan menjahit bajunya sendiri, beliau juga
seringkali turun langsung ke medan jihad, mengangkat batu, membuat parit, dan
melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Para
sahabat juga memberikan contoh bagaimana mereka bersikap mandiri, selama
sesuatu itu bisa dia kerjakan sendiri maka dia tidak akan meminta tolong orang
lain untuk mengerjakannya. Contohnya, ketika mereka menaiki unta dan ada
barangnya yang jatuh maka mereka akan mengambilnya sendiri tidak meminta tolong
lain.
2.
Memenuhi
kebutuhan keluarga
Bekerja
untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya adalah kewajian
bagi seorang muslim, hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
قال رسول الله(صلى الله عليه وسلم):” كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يقوت” رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم وأقره الذهبي من حديث عبدالله ابن عمرو بن العاص
Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah
seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi
tanggung jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan
harta bagi keluarga adalah hal yang harus diutamakan, baru kemudian pada
lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang lebih luas.
3.
Kepentingan
seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang bisa menjadi sebuah amal
jariyah baginya, sebagaimana disebutkan dalam hadist berikut :
عن
أنس قال النبي صلى الله عليه وسلم : ” ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل
منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة “
Dari Anas, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah
seorang mukmin menanam tanaman, atau menabur benih, lalu burung atau manusia
atau hewan pun makan darinya kecuali pasti bernilai sedekah baginya”. (HR
Bukhari)
Dalam era modern ini banyak sekali pekerjaan kita yang bisa
bernilai sebagai amal jariyah. Misalnya kita membuat aplikasi atau tekhnologi
yang berguna bagi umat manusia. Karenanya umat Islam harus cerdas agar bisa
menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai amal jariyah.
4.
Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam
sangat menghargai pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita
yakin tidak akan pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap
diperintahkan untuk bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu
sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
عن
أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” إن قامت الساعة و في يد
أحدكم فسيلة , فإن استطاع أن لا تقوم حتى يغرسها فليغرسها ”
Dari
Anas RA, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Jika hari kiamat terjadi,
sedang di tanganmu terdapat bibit tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat
menanamnya, maka tanamlah “ (HR Bukhari dan Muslim).[3]
4. “APA PEKERJAAN YANG TERBAIK?”
Manakah
pekerjaan terbaik bagi seorang muslim? Apakah berdagang lebih utama dari
lainnya? Ataukah pekerjaan terbaik tergantung dari keadaan tiap individu?
Ada
yang pernah bertanya pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ
عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
“Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang
paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya
sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad 4: 141, hasan lighoirihi)
·
Pekerjaan
yang Thoyyib
Kasb
yang dimaksud dalam hadits di atas adalah usaha atau pekerjaan mencari rizki.
Asy Syaibani mengatakan bahwa kasb
adalah mencari harta dengan menempuh sebab yang halal. Sedangkan kasb thoyyib, maksudnya
adalah usaha yang berkah atau halal. Sehingga pertanyaan dalam hadits di atas
dimaksudkan ‘manakah
pekerjaan yang paling diberkahi?’
Kita
dapat mengambil pelajaran penting bahwa para sahabat tidak bertanya manakah
pekerjaan yang paling banyak penghasilannya. Namun yang mereka tanya adalah
manakah yang paling thoyyib
(diberkahi). Sehingga dari sini kita dapat tahu bahwa tujuan dalam mencari
rizki adalah mencari yang paling berkah, bukan mencari manakah yang
menghasilkan paling banyak. Karena penghasilan yang banyak belum tentu barokah.
Demikian penjelasan berharga dari Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan dalam Minhatul ‘Allam, 6: 10.
·
Pekerjaan
dengan Tangan Sendiri
Ada
dua mata pencaharian yang dikatakan paling diberkahi dalam hadits di atas. Yang
pertama adalah pekerjaan dengan tangan sendiri. Hal ini dikuatkan pula dalam
hadits yang lain,
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا
قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ
دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang memakan suatu
makanan yang lebih baik dari makanan yang ia makan dari hasil kerja keras
tangannya sendiri. Karena Nabi Daud ‘alaihis salam dahulu bekerja pula dengan
hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072). Bahkan
sebagaimana disebutkan dalam hadits ini, mencari kerja dengan tangan sendiri
sudah dicontohkan oleh para nabi seperti Nabi Daud ‘alaihis salam.
Contoh
: pekerjaan dengan tangan adalah bercocok tanam, kerajinan, mengolah kayu,
pandai besi, dan menulis. Demikian disebutkan dalam Minhatul ‘Allam karya Syaikh ‘Abdullah bin
Sholih Al Fauzan, 6: 9.
·
Jual
Beli yang Mabrur
Mata
pencaharian kedua yang terbaik adalah jual beli yang mabrur. Kata Syaikh
‘Abdullah Al Fauzan, jual beli yang mabrur adalah jual beli yang memenuhi
syarat dan rukun jual beli, terlepas dari jual beli yang bermasalah, dibangun
di atas kejujuran, serta menghindarkan diri dari penipuan dan pengelabuan.
Lihat Minhatul ‘Allam Syarh
Bulughil Maram, 6: 9.
·
Mana
Saja Jual Beli yang Mabrur?
Sebagaimana
dijelaskan di atas, jual beli mabrur adalah jika memenuhi syarat dan rukun jual
beli. Apa saja syarat yang mesti diperhatikan? Di antaranya adalah: 1- ridho
antara penjual dan pembeli, 2- barang yang dijual mubah pemanfaatannya (bukan
barang haram), 3- uang dan barang bisa diserahterimakan, 4- tidak ada ghoror (ketidakjelasan).
Adapun
jual beli yang bermasalah adalah: 1- jual beli yang mengandung ghoror seperti jual beli
dengan sistem ijon, 2- jual beli yang mengandung riba, 3- jual beli yang
mengandung dhoror
(bahaya) pada pihak lain seperti menimbun barang, 4- jual beli yang mengandung
pengelabuan, 5- jual beli yang terlarang karena sebab lain seperti jual beli
pada shalat jum’at, jual beli di lingkungan masjid dan jual beli barang yang
digunakan untuk tujuan haram. Jual beli yang mabrur berarti harus meninggalkan
jual beli yang bermasalah ini.
·
Perintah
Giat Bekerja
Hadits
yang kita kaji juga menunjukkan agar kita semangat dalam mencari nafkah dan
bekerja dengan menempuh jalan yang halal. Perintah ini juga disebutkan dalam
firman Allah,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ
الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ
النُّشُورُ
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah
bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari
rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
(QS. Al Mulk: 15). Bahkan giat bekerja dalam rangka mencari nafkah adalah jalan
yang ditempuh para nabi ‘alaihimush
sholaatu was salaam. Sebagaimana disebutkan bahwa Nabi Daud
mendapatkan penghasilan dari hasil keringat tangannya sendiri. Sedangkan Nabi
Zakariya ‘alaihis salam
bekerja sebagai tukang kayu. Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri pernah menjadi pengembala kambing, bahkan
pernah menjadi pedagang dengan menjualkan barang milik Khodijah radhiyallahu ‘anha.
·
Lantas
Manakah Pekerjaan yang Terbaik?
Para
ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Imam Al Mawardi, salah seorang ulama
besar Syafi’i berpendapat bahwa yang paling diberkahi adalah bercocok tanam
karena tawakkalnya lebih tinggi. Ulama Syafi’iyah lainnya yaitu Imam Nawawi
berpendapat bahwa yang paling diberkahi adalah pekerjaan dengan tangan, dan
bercocok tanam yang lebih baik dengan tiga alasan, yaitu termasuk pekerjaan
dengan tangan, tawakkal seorang petani itu tinggi dan kemanfaatannya untuk
orang banyak, termasuk pula manfaat untuk binatang dan burung.
Menurut
penulis Taudhihul Ahkam,
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Ali Bassam, pekerjaan terbaik adalah
disesuaikan pada keadaan setiap orang. Yang terpenting adalah setiap pekerjaan
haruslah berisi kebaikan dan tidak ada penipuan serta menjalani kewajiban yang
mesti diperhatikan ketika bekerja.
Kita
dapat berdalil dengan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
احْرِصْ عَلَى مَا
يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
Bersemangatlah melakukan hal yang bermanfaat untukmu dan
meminta tolonglah pada Allah, serta janganlah engkau malas” (HR. Muslim no. 2664). Dan ditambah
lagi pekerjaan terbaik adalah yang banyak memberikan kemanfaatan untuk orang
banyak.
Moga
Allah memberi keberkahan pada usaha kita dalam mencari nafkah dan bekerja
keras. Hanya Allah yang
memberi taufik.
5.
Hadits
Larangan Meminta-minta
حَدِيْثُ حَكِيْمِ ابْنِ حِزَامٍ
رَضِيَ الله عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلّم، قَالَ
:
(اليَدُالعُلْيَاخَيْرٌمِنَ اليَدِالسُفْلَى، وَابْدَأْبِمَنْ تَعُوْلُ،
وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ ظَهْرِغِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ،
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ) أخرجه البخارى فى : ۲٤- كتاب الزكاة : ۱۸- باب
لاصدقة إلاعن ظهرغنى
“Hakiem bin Hizam r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Tangan
di atas lebih baik daripada tangan di bawah dan mulailah dengan orang yang
menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah ialah yang dilakukan dalam keadaan
berkemampuan dan barang siapa yang memelihara dirinya daripada meminta-minta,
nescaya Allah akan memelihara kehormatannya; dan barang siapa yang merasa
berkemampuan, nescaya Allah akan memberinya kecukupan.” (Muttafaq ‘alaih).
حَدِيْثُ
أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّم : (لَأَنْ يَحْتَتِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةًعَلَى ظَهْرِهِ
خَيْرٌمِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًافَيُعْطِيَهُ أَوْيَمْنَعَهُ)
أخرجه البخارى فى : ۳٤- كتاب البيوع : ۱۵- باب كسب الرجل و عمله
بيد
“Abuhurairah
r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Jika seorang itu pergi mencari kayu,
lalu diangkat seikat kayu di atas punggungnya (yakni untuk dijual di pasar)
maka itu lebih baik baginya daripada minta kepada seseorang baik diberi atau
ditolak. (Bukhari, Muslim)”.
2. Makna Hadis
Rasulullah (s.a.w) mengutamakan tangan yang memberi di
atas tangan yang meminta dan memerintahkan orang yang membelanjakan hartanya
supaya memulainya untuk diri sendiri, kemudian anak dan isterinya, lalu untuk
keluarga dan kaum kerabatnya yang paling dekat. Dari satu sisi Nabi (s.a.w)
menganjurkan para hartawan untuk menyedekahkan sebahagian hartanya yang tidak
dia perlukan, tetapi dari sisi yang lain pula baginda menganjurkan kaum fakir
miskin menahan diri daripada meminta-minta untuk memelihara kehormatan mereka. Baginda menjelaskan kepada mereka
bahawa barang siapa yang meminta kehormatan dan kemuliaan kepada Allah, nescaya
Allah akan memberinya jalan untuk meraihnya. Barang siapa yang mencari jalan
agar dia tidak meminta-minta kepada orang lain, nescaya Allah akan membukakan
jalan kepadanya dan menganugerahkan kepadanya penyebab-penyebab
yangmenjadikannya berkemampuan, memperoleh kehormatan, dan kemuliaan.[2]
3. Analisis Lafaz
اليَدُالعُلْيَا"”, maksudnya
ialah tangan orang yang memberi sedekah. Ini mengikut pendapat yang
paling kuat, kerana Nabi (s.a.w) sendiri yang mentafsirkannya. Menurut
pendapat lain, maksudnya ialah tangan yang tidak mahu menerima. Menurut
pendapat yang lain lagi, maksudnya ialah tangan yang menerima tanpa meminta-minta.
“خَيْر”, lebih
utama. Lafaz ini berkedudukan sebagai khabar dan lafaz “اليَدُ” yang
berkedudukan sebagai mubtada’, sedangkan lafaz “العُلْيَا ”
berkedudukan sebagai sifat kepada lafaz “اليَد ”
“مِنَ اليَدِالسُفْلَى”, menurut
pendapat yang paling kuat adalah “tangan yang menerima”. Pendapat yang lain
menyatakan “tangan yang tidak mahu memberi.” Menurut pendapat yang lain lagi,
“tangan yang meminta.”
“وَابْدَأْبِمَنْ تَعُوْلُ”, mulailah
memberikan sedekahmu kepada orang yang wajib engkau nafkahi. Oleh itu,
janganlah engkau menyia-nyiakan mereka dan jangan pula mengutamakan orang lain
ke atas mereka.
وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ
ظَهْرِغِنًى"” sedekah yang paling utama ialah sedekah yang dikeluarkan oleh
seseorang dari hartanya setelah menyisakan untuk keperluannya sendiri, agar
kehidupannya tetap berjalan dengan baik dan memberinya kecukupan hingga tidak
perlu meminta-minta kepada orang lain, kerana orang yang menyedekahkan seluruh
harta miliknya sering kali menyesali perbuatannya pada saat tidak ada gunanya
lagi untuk penyesalan. Lafaz “ظهر” ditambahkan ke dalam kalimat ini untuk mengukuhkan makna dan
memberikan keluasan pengertian. Sabda Nabi (s.a.w): “عَنْ ظَهْرِغِنًى” bermaksud “غِنًى عَنْ” (dalam
keadaan berkemampuan).
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ
اللهُ"”, barang siapa yang memelihara kehormatan dengan menjauhi
perbuatan meminta-minta dan menerima apa adanya, nescaya Allah akan memberinya
rezeki berupa kehormatan dan dapat menahan diri daripada perbuatan haram.
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ
اللهُ"”, barang siapa yang memperlihatkan sikap berkemampuan dengan
cara tidak mengharapkan harta orang lain, nescaya Allah memberinya rezeki
berupa sifat qana’ah di dalam hatinya dan berkemampuan hingga tidak memerlukan
bantuan orang lain.[3]
( Fiqh
Hadis )
1.
Dianjurkan
untuk berinfak.
2.
Keutamaan
tangan yang memberi di atas tangan yang meminta.
3.
Celaan
terhadap perbuatan meminta-minta dan peringatan supaya tidak melakukan
perbuatan hina itu.
4.
Dianjurkan
bersedekah kepada kaum kerabat dan bersilaturahim.
5.
Hartawan
dianjurkan untuk bersedekah.
6. Sedekah yang paling utama ialah
apabila seseorang sentiasa dalam keadaan berkemampuan setelah
mengeluarkan sedekahnya, tanpa memerlukan bantuan orang lain setelah
bersedekah.
7. Orang miskin dianjurkan untuk
memelihara kehormatannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain serta
bertawakal yang penuh keyakinan kepada Allah (s.w.t).[4]
5. Penjelasan Larangan
Meminta-minta
Mengemis
atau meminta-minta di-istilahkan dengan bahasa Arab sebagai “tasawwul ” Dalam
Al- Mu’jamul Wasith disebutkan :
“Tasawwala
(bentuk fi’il madhy dari tasawwul) artinya
meminta-minta atau meminta pemberian ”.[5]
Tasawwul atau meminta-minta yang dicela
adalah meminta harta orang lain untuk kepentingan
sendiri atau
pribadi.
Al-Allamah Abdur Rauf Al-Munawi Rahimahullah berkata:
“Sabda beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam (Sesungguhnya
meminta-minta) maksudnya adalah menuntut dari manusia agar mereka memberikan
sebagian harta mereka untuk dirinya ”.[6]
Al-Allamah Muqbil Al-Wadi’i Rahimahullah juga
menerangkan batasan tasawwul dalam kitab Dzammul
Mas’alah (Tercelanya Meminta-Minta):“Kelompok kedua (dari orang yang
buruk dalam penggunaan harta): adalah kaum yang
berusaha mencuri untuk mengambil harta zakat padahal mereka bukanlah golongan
yang berhak menerimanya. Kemudian harta itu
mereka gunakan untuk kepentingan pribadi mereka”.[7]
Mengemis atau tasawwul juga bisa diartikan dengan upaya meminta
harta orang lain bukan untuk kemaslahatan agama
melainkan untuk kepentingan pribadi. Al-Hafizh Ibnu
Hajar Rahimahullah berkata: “Perkataan Al-Bukhari (Bab
Menjaga Diri dari Meminta-minta) maksudnya adalah meminta-minta sesuatu
selain untuk kemaslahatan agama ”.
Dari keterangan di atas kita bisa mengambil pelajaran bahwa batasan
tasawwul atau “mengemis” adalah meminta untuk
kepentingan diri sendiri bukan untuk kemaslahatan agama.
2.
Meminta Untuk Kepentingan Kaum
Muslimin
Jika
seseorang meminta harta untuk disalurkan kepada
orang yang membutuhkan atau meminta bantuan
untuk kepentingan kaum muslimin -bukan
untuk kepentingan diri sendiri- maka dia tidak termasuk orang yang
tasawwul walaupun dia adalah orang kaya.
Di
antara pesan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada
para pemimpin perang ketika sebelum berangkat adalah perkataan beliau Shallallaahu
‘alaihi wasallam:
“
Jika mereka (orang-orang kafir yang diperangi,
pen) tidak mau masuk Islam maka mintalah
Al-Jizyah dari mereka! Jika mereka memberikannya maka terimalah dan tahanlah
dari (memerangi, pen) mereka! Jika mereka tidak
mau menyerahkan Al-Jizyah maka mintalah pertolongan kepada
Allah dan perangilah mereka!” (HR. Muslim: 3261, Abu Dawud: 2245, Ibnu Majah:
2849)
Al-Mulla
Ali Al-Qari Rahimahullah berkata: “(Maka
mintalah dari mereka) dengan Hamzah dan perpindahannya (dalam I’lal, pen)
maksudnya adalah mohonlah dari mereka Al-Jizyah ” (Mirqatul Mafatih Syarh
Misykatil Mashabih: 12/71)
Maka
dari hadits di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa meminta
Al-Jizyah dari orang-orang kafir tidak
termasuk tasawwul karena Al-Jizyah bukan untuk
kepentingan pribadi tetapi untuk kaum muslimin.
Al-Allamah
Asy-Syinqithi Rahimahullah berkata: “ Jika
Al-Jizyah telah diambil (dan diletakkan) ke
baitul mal kaum muslimin, maka penulis Zadul Mustaqni’
menjelaskan bahwa Al-Jizyah diperuntukkan pada pos-pos
umum kaum muslimin, sebagaimana yang telah kami sebutkan ” (Syarh Zadul
Mustaqni’: pertemuan ke-138 halaman: 14)
Termasuk
dalam pengertian meminta bantuan untuk
kepentingan kaum muslimin adalah perkataan Dzulqarnain: “
Dzulqarnain berkata: “Apa yang telah dikuasakan
oleh Rabbku kepadaku terhadapnya adalah lebih
baik, maka bantulah aku dengan kekuatan,
agar aku membuatkan dinding antara kalian dan mereka ”
(QS. Al-Kahfi: 95)
Al-Allamah
Asy-Syaukani Rahimahullah berkata:
“(Maka
bantulah aku dengan kekuatan) maksudnya
dengan tenaga laki-laki kalian yang bekerja dengan tenaga
mereka, atau bantulah aku dengan alat-alat bangunan atau dengan kedua-duanya ”
(Fathul Qadir: 4/426)
Dzulqarnain
tidak bisa dikatakan telah melakukan tasawwul
atau mengemis sebagaimana Kaidah jahil Si
Abul Husain- karena dia meminta bantuan
bukan untuk kepentingan pribadi.
Yang
semisal perkataan Dzulqarnain adalah perkataan Abu Bakar Ash-ShiddiqRadhiyallaahu
‘anhu ketika beliau dibaiat menjadi khalifah. Beliau berkata:
“Amma ba’du Wahai manusia! Sesungguhnya aku menjadi pemimpin kalian dan aku
bukanlah orang yang terbaik di atara kalian. Maka jika aku benar maka
bantulah aku! Dan jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku!” (Al-Bidayah wan
Nihayah: 5/269) Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam juga
pernah meminta bantuan seorang tukang kayu untuk membuatkan beliau mimbar Sahl
bin Sa’d As-sa’idi Radhiyallaahu ‘anhu berkata: “
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus
kepada seorang wanita: “ Perintahkan anakmu yang tukang kayu itu untuk
membuatkan untukku sebuah mimbar sehingga aku bisa duduk di atasnya!” (HR.
Al-Bukhari: 429, An-Nasa’i 731 dan Ahmad 21801)
Al-Imam
Al-Bukhari Rahimahullah berkata: “Bab : Meminta bantuan
kepada tukang kayu dan ahli pertukangan lainnya untuk membuat kayu-kayu mimbar
dan masjid ” (Shahihul Bukhari: 2/235)
Al-Imam
Ibnu Baththal Rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini
terdapat pelajaran tentang bolehnya meminta bantuan
kepada ahli pertukangan dan ahli kekayaan untuk segala hal yang
manfaatnya meliputi kaum muslimin. Dan orang-orang yang bersegera melakukannya
adalah disyukuri usahanya ” (Syarh Ibnu Baththal lil Bukhari: 2/100)
Sehingga
kita boleh mengatakan: “ Bantulah aku membangun masjid ini atau
madrasah ini dan sebagainya!” atau meminta sumbangan
kepada kaum muslimin yang mampu untuk membangun masjid,
madrasah dan sebagainya.
2.6 Contoh Fenomena Masa Kini
Fatwa
Apakah Boleh meminta minta untuk membangun masjid? Al-Lajnah Ad- Daimah lil
Buhuts wal Ifta’ Saudi Arabiyyah pernah ditanya: Tanya “ Bolehkah meminta
bantuan dari seorang muslim untuk membangun masjid atau madrasah, apa
dalilnya?” Jawab “ Perkara tersebut diperbolehkan, karena termasuk dalam tolong
-menolong di atas kebaikan dan taqwa. Allah Subhaanahu wa
ta’ala berfirman:“ Dan tolong-menolonglah kalian
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran ” (QS. Al-Maidah: 2).[9]Memang pada itinya boleh meminta kalo
untuk kepentingan umat Islam tapi dengan cara yang baik dan sopan, tidak
memungut bantuan di tengah jalan atau di dalam bis kotas eperti yang sering
kita saksikan di sekitar kita. Hal seperti itu malah akan dapat menjatuhkan
martabat umat Islam sendiri.
Kesimpulan
kerja merupakan dasar dari sebuah kesuksesan
seseorang dan suatu bangsa, baik itu kesuksesan di dunia maupun kesuksesan di
akhirat. Oleh karena itu, marilah kita semua tanamkan etos kerja yang islami
didalam diri kita masing-masing. Lakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh,
total dan maksimal nikmati setiap aktifitas yang anda lakukan dan yang paling
penting niati semua itu karena Allah SWT.
Muslim
yang berprofesi sebagai pejabat tak akan korupsi karena dia niati untuk
beribadah bukan karena harta. Polisi akan mengayomi masyarakatnya dengan
sungguh-sungguh, karena dia meyakini apa yang dilakukannya itu akan dibalas
dengan kebaikan oleh Allah. Pedagang akan jujur karena dia yakin dengan begitu
keuntungannya akan berlipat dan rezekinya halal. Pelajar akan
bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu, karena dia yakin bahwa niat baik yang
dia tanamkan akan membawanya kepada derajat yang lebih tinggi. B. Saran Dalam
penyusunan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan partisipasi dosen
pembimbing, serta rekan-rekan mahasiswa berupa saran dan kritik yang bersifat
membangun demi penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag RI Anonim,
1997, Konsep dan etika kerja dalam Islam, Almadani. Anonim, 1990,
Mengangkat
Kualitas Hidup Umat, Jakarta : Dirjen BIMAS Islam. KH. Toto Tasmara,
Membudayakan Etos Kerja, Jakarta : Gema Insani. Iqbal, Sheikh Mohd, Misi
Islam.Jakarta, Penerbit Gunung Jati, 1982.
Madjid,
Nurcholis, Islam: Doktrin dan Peradaban.Jakarta, YayasanWakaf Paramadina, 1999
0 komentar:
Posting Komentar